
KuninganSatu.com,- Kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah kembali mencuat di Kabupaten Kuningan. Seorang siswa kelas 2 SD di Kecamatan Ciawigebang menjadi korban penganiayaan oleh guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Insiden ini terjadi pada Senin pagi, 17 Februari 2025, dan mengundang keprihatinan serta kecaman dari berbagai pihak.
Korban, seorang anak yang dikenal ceria dan santun, berniat memberikan salam kepada guru tersebut sambil membawa jajanan kesukaannya, minuman pop ice dan makanan ringan. Namun alih-alih mendapat respons positif, anak itu justru dijambak kerudungnya, dipukul, dan disiram pop ice ke wajahnya di hadapan teman-teman sekelasnya.
“Adik saya tidak salah apa pun. Dia hanya ingin menyapa seperti biasa. Tapi dia justru jadi korban. Ini sangat menyakitkan,” ujar sang kakak yang menyampaikan kejadian tersebut kepada tim kuningansatu.com, Rabu (10/4/2025).
Kejadian itu terjadi di depan siswa lain, namun tak satu pun yang berani menolong. Ketakutan telah mengakar, dan kekhawatiran mengenai kondisi kejiwaan guru tersebut bukan hal baru di kalangan warga sekolah.
Meskipun Dinas Pendidikan Kuningan telah menjatuhkan sanksi berupa penonaktifan selama 1,5 tahun terhadap guru tersebut, banyak pihak menilai bahwa keputusan ini belum cukup memberi keadilan, terutama bagi korban yang kini mengalami trauma berat.
“Sekarang adik saya tidak mau sekolah lagi. Bahkan melihat mobil berwarna merah seperti milik guru itu saja membuatnya gemetar,” tambah sang kakak.
Pasca insiden, kondisi psikologis korban sangat memprihatinkan. Menurut penuturan keluarga, anak yang sebelumnya ceria dan semangat sekolah kini berubah drastis. Ia menolak pergi ke sekolah, mudah menangis, dan sering terbangun di malam hari. Bahkan, menurut sang kakak, korban menunjukkan reaksi ketakutan yang ekstrem hanya dengan melihat mobil berwarna merah, warna yang identik dengan kendaraan pribadi milik pelaku.
Dewi Sartika sebagai teman kakak korban yang ikut mendampingi keluarga pun menyampaikan kecaman keras atas peristiwa ini.
“Ini bukan sekadar salah didik atau kesalahan sepele. Ini bentuk kekerasan nyata terhadap anak. Apalagi dilakukan oleh guru yang seharusnya menjadi teladan. Kami menuntut ada tindakan serius, bukan cuma cuti 1,5 tahun lalu selesai begitu saja,” tegasnya.
Pihak keluarga dan masyarakat kini berharap agar kasus ini tidak dianggap selesai hanya dengan sanksi administratif. Mereka mendesak agar ada pendampingan psikologis untuk korban serta evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan penempatan guru di lingkungan sekolah.
(red)