Kuningan, KuninganSatu.com - Gelombang kritik terhadap DPRD Kabupaten Kuningan kembali mencuat usai Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, menyebut para anggota legislatif sebagai “pandir” dan “mandul” dalam menyikapi penyusunan Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) tahun anggaran 2026. Pernyataan itu menuai tanggapan tajam dari kalangan pengamat politik, salah satunya Abidin, SE, yang menilai kritik tersebut kelewat batas.
“Kalau saya jadi anggota dewan, saya tidak akan terima disebut pandir. Itu bukan kritik, itu penghinaan terbuka terhadap lembaga yang dipilih rakyat,” ujar Abidin kepada KuninganSatu, Kamis (3/7/2025) pagi.
Menurutnya, ucapan itu bukan hanya merendahkan martabat 50 orang anggota DPRD yang duduk di parlemen daerah, tetapi juga menyentil langsung kehormatan rakyat yang telah memilih mereka secara sah dalam pemilu.
“Perlu diingat, 50 anggota dewan itu dipilih oleh 800 ribu penduduk dan mewakili 1,2 juta penduduk Kuningan. Ketika mereka disebut pandir, maka secara tidak langsung rakyat Kuningan pun sedang dihina karena dianggap memilih orang-orang pandir sebagai wakilnya dan secara tidak langsung mengecap pemilu kita tidak berkualitas. Ini keterlaluan,” tegas Abidin.
Ia mengakui bahwa DPRD memiliki kekurangan dan perlu banyak berbenah, terutama dalam membangun posisi yang kuat dan independen di hadapan eksekutif. Namun, ia menolak pendekatan kritik yang menjurus ke penghinaan personal maupun institusional.
“Kritik itu harus cerdas, elegan, dan membawa solusi. Bukan hanya caci maki. Apalagi kalau sampai menjatuhkan martabat lembaga yang menjadi salah satu pilar demokrasi,” lanjutnya.
Abidin juga menyoroti bahwa penggunaan istilah seperti “pandir” dalam ruang publik berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi. Dalam jangka panjang, menurutnya, hal ini bisa memicu apatisme politik yang berbahaya.
“Kalau rakyat tidak percaya lagi pada wakilnya, sementara yang mengaku mewakili suara rakyat malah sibuk menghina, lalu siapa yang bisa menjadi tempat rakyat berharap?” katanya.
Namun, Abidin juga memberi catatan penting kepada DPRD. Ia mengajak para legislator untuk tidak sekadar merasa tersinggung, tetapi justru menjadikan kritik meski kasar sebagai cambuk untuk introspeksi.
“Mungkin gaya bicara Uha memang ekstrem, tapi substansinya perlu dicermati. Apakah benar DPRD sekarang terlalu lemah di hadapan eksekutif? Apakah benar aspirasi masyarakat hanya tersaring lewat Kamus Pokir yang kaku dan teknokratis? Ini yang harus dijawab, bukan sekadar marah,” ujarnya.
Abidin mendorong agar DPRD membuka ruang dialog publik untuk menjelaskan posisi dan langkah-langkah strategis dalam memperjuangkan aspirasi rakyat ke depan. Ia juga menyarankan adanya evaluasi bersama antara legislatif, eksekutif, dan masyarakat sipil untuk menyelaraskan kebijakan tanpa mengorbankan marwah kelembagaan.
“Dewan harus kembali dipercaya publik. Tapi untuk itu, mereka juga harus menunjukkan keberanian untuk bersikap dan tidak larut dalam kenyamanan birokrasi. Kalau tidak, kritik seperti ini akan terus muncul dan bisa jadi lebih tajam,” pungkasnya.
(red)