Editorial: Penonaktifan Sepihak Direktur RSUD Linggajati, Preseden Buruk Bagi Dunia Kesehatan Kuningan
KuningaSatu.com - Keputusan Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar, untuk menonaktifkan Direktur RSUD Linggajati, Eddy Syarief, merupakan langkah gegabah yang sarat pelanggaran hukum, menyimpang dari etika administrasi publik, serta mencederai marwah lembaga pelayanan kesehatan. Tindakan ini bukan sekadar kesalahan prosedur, melainkan sebuah preseden buruk dalam sistem tata kelola pemerintahan yang seharusnya berbasis aturan, bukan atas dasar persepsi atau tekanan sesaat.
Redaksi KuninganSatu.com menilai bahwa keputusan ini tidak hanya cacat secara formil dan materil, tetapi juga membahayakan integritas birokrasi kesehatan di Kabupaten Kuningan. Ketika seorang pejabat publik yang notabene pemimpin institusi profesional dapat dicopot secara sepihak tanpa mekanisme evaluasi yang sah, maka kita sedang menyaksikan pergeseran fungsi kekuasaan dari pelaksana hukum menjadi penafsir tunggal hukum.
Melabrak Undang-Undang, Menyimpang dari Prosedur
Dalam sistem negara hukum, seluruh tindakan pejabat publik harus tunduk pada peraturan perundang-undangan. Namun, langkah Bupati Kuningan melabrak ketentuan yang diatur dalam:
1. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Pasal 32 ayat (2) menegaskan bahwa pengawasan terhadap rumah sakit dilakukan oleh Dewan Pengawas, yang bertugas memberikan nasihat dan melakukan pengawasan nonteknis kepada direksi. Artinya, evaluasi terhadap direktur RSUD tidak bisa dilakukan secara langsung oleh kepala daerah tanpa rekomendasi Dewas. Penonaktifan sepihak ini jelas melangkahi fungsi institusional yang diamanatkan undang-undang.
2. UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Pasal 322 menyatakan bahwa dugaan pelanggaran disiplin tenaga medis dan kesehatan hanya dapat diperiksa oleh Majelis Kehormatan Disiplin Tenaga Kesehatan. Tidak ada satu pun klausul dalam undang-undang ini yang memberikan wewenang kepada bupati untuk mencopot atau menonaktifkan pejabat rumah sakit atas dugaan kelalaian medis, apalagi tanpa hasil pemeriksaan resmi. Langkah tersebut adalah bentuk pelanggaran asas legalitas secara terang-terangan.
3. UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Keputusan ini memenuhi unsur Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), karena bersifat tertulis, final, individual, dan berdampak langsung terhadap hak seseorang. Artinya, keputusan Bupati tersebut dapat digugat ke PTUN karena telah menimbulkan kerugian nyata terhadap pihak yang dinonaktifkan tanpa proses administratif yang sah.
Penyalahgunaan Wewenang dan Benturan Kepentingan
Yang lebih mengkhawatirkan adalah keterlibatan Ketua Dewan Pengawas RSUD yang juga menjabat sebagai Pj Sekda dalam pengumuman penonaktifan. Secara fungsi, Dewas seharusnya menjadi badan independen dalam melakukan evaluasi. Namun dalam kasus ini, Ketua Dewas justru berdiri sebagai bagian dari eksekutor kebijakan. Ini adalah contoh nyata benturan kepentingan yang sangat serius. Pengawas telah berubah menjadi pelaksana keputusan politik. Maka objektivitas pun hilang, dan fungsi pengawasan menjadi alat justifikasi kekuasaan.
Bahaya Bagi Sistem Pelayanan Kesehatan
Penonaktifan sepihak ini bukan hanya menyangkut satu nama. Ini menyangkut nasib sistem. Ketika direktur rumah sakit bisa dicopot hanya karena persepsi publik dan tekanan media, maka seluruh tenaga kesehatan akan bekerja dalam bayang-bayang ketakutan. Mereka tidak lagi menjunjung profesionalisme, melainkan tunduk pada kalkulasi politis.
Ini adalah ancaman nyata terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Institusi rumah sakit adalah institusi ilmiah, bukan birokrasi biasa. Mereka bekerja berdasarkan protokol medis dan etika profesi, bukan popularitas atau narasi kekuasaan.
Pelanggaran AUPB (Asas Umum Pemerintahan yang Baik)
Tindakan Bupati Kuningan juga telah melanggar prinsip AUPB, khususnya:
Asas legalitas - karena bertindak tanpa dasar hukum sah;
Asas kecermatan - karena mengambil keputusan tanpa investigasi;
Asas perlindungan hak - karena merugikan hak jabatan seseorang tanpa proses klarifikasi atau pembelaan;
Asas profesionalitas - karena tidak melibatkan lembaga kompeten.
Langkah sepihak ini adalah bentuk nyata dari maladministrasi, dan mencerminkan ketidakpahaman, atau lebih buruk: ketidaksediaan, untuk menghormati norma hukum dalam proses pemerintahan.
Redaksi Mendorong Evaluasi Total
Sebagai bentuk kontrol sosial, Redaksi KuninganSatu.com dengan ini menyarankan agar:
1. Keputusan penonaktifan Direktur RSUD Linggajati harus segera dicabut, karena bertentangan dengan hukum dan prosedur administrasi yang sah.
2. Bupati Kuningan harus meminta maaf secara terbuka kepada jajaran RSUD dan publik atas tindakan sepihak yang melanggar aturan.
3. Dewan Pengawas RSUD harus dievaluasi total, karena gagal menjalankan fungsi pengawasan secara objektif dan justru menjadi bagian dari proses politisasi kebijakan.
4. Majelis Kehormatan Disiplin Tenaga Kesehatan harus segera dilibatkan, agar pemeriksaan berjalan sesuai ketentuan UU Kesehatan.
5. Nama baik Direktur RSUD harus direhabilitasi jika terbukti tidak bersalah, karena penonaktifan yang tidak sah ini telah merusak integritas dan reputasi pejabat tersebut.
Negara Hukum atau Negara Kekuasaan?
Hari ini, seorang direktur rumah sakit bisa diberhentikan tanpa proses hukum. Jika tidak ada koreksi serius, besok mungkin kepala puskesmas, kepala sekolah, atau siapa pun bisa menjadi korban berikutnya. Jika hukum bisa dibengkokkan oleh kekuasaan, maka seluruh fondasi pemerintahan akan runtuh. Bukan karena rakyat melawan, tapi karena penguasanya merusak aturan.
Pemerintah daerah bukanlah institusi absolut. Kepala daerah bukanlah satu-satunya penentu nasib pejabat publik. Ada sistem. Ada mekanisme. Ada hukum. Dan itu harus dihormati.
Redaksi KuninganSatu.com
Tegakkan hukum, bukan kuasa. Jika hukum dilanggar oleh pemegang kekuasaan, maka siapa lagi yang bisa rakyat percaya?