Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger TemplatesPremium By Raushan Design With Shroff Templates

Iklan

Kuningan Melesat, Warganya Ngebul: Sebungkus Rokok Menghapus Kemiskinan

Redaksi
Selasa, 27 Mei 2025
Last Updated 2025-05-31T14:40:53Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini


KuninganSatu.com,- Kabar gembira untuk para perokok aktif di Kabupaten Kuningan dimana Anda sudah tidak lagi dikategorikan miskin. Bukan karena gaji naik, bukan karena utang lunas, tapi karena Anda bisa beli sebungkus rokok tiap hari.


Begini logikanya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kuningan tahun 2025, garis kemiskinan tahun 2024 ditetapkan sebesar Rp 420.867 per kapita per bulan.


Itu artinya, kalau pengeluaran bulanan Anda di atas angka tersebut, walaupun cuma buat rokok dan kopi sachet, secara statistik Anda sudah lolos dari kemiskinan. Sudah sah jadi rakyat “menengah” yang tidak lagi layak dikasihani.


Contohnya konkret, satu bungkus rokok Sendang Biru seharga Rp 15.000, dikali 30 hari, jadi Rp 450.000. Hore! Pengeluaran Anda resmi melewati garis kemiskinan. Tak perlu rumah layak huni, tak perlu asupan gizi seimbang, tak perlu pendidikan memadai. 


Asal bisa merokok konsisten setiap hari, Anda dan keluarga Anda sudah statistically makmur. Negara pun bisa tidur lebih nyenyak.


Tentu saja, laporan BPS juga menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin turun dari 133.880 jiwa (12,12%) pada 2023 menjadi 131.830 jiwa (11,88%) pada 2024. Hebat, bukan? Dalam dunia angka, segalanya terlihat membaik. Tapi tunggu dulu, ada bumbu rahasia di balik statistik ini.


Dua indikator penting justru naik dimana Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) naik dari 1,87 menjadi 2,02, dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) naik dari 0,42 ke 0,53. Artinya, yang miskin sekarang makin jauh dari garis kemiskinan, dan jurang antar si miskin dan yang sedikit lebih miskin juga makin lebar.


Tapi semua itu tertutup rapi oleh presentase turun. Statistik adalah seni menyembunyikan kepedihan lewat grafik menurun.


“Yang penting mah di data, kami udah nggak miskin. Terima kasih Sendang Biru sudah membawa kami keluar dari kemiskinan,” ujar Pak Ade, warga yang kerap kali nongkrong di warung kopi samping Gedung DPRD, Selasa (27/5/2025).


Dengan rokok terselip di jari, ia menyeringai sambil berkata, “Nasi masih utang, gas tinggal bunyi, listrik sambung-sambungan, tapi kan saya masih bisa beli rokok. Jadi ya udah, saya orang sejahtera versi negara," katanya.


Warung kopi tempat Pak Ade nongkrong itu milik Bu Nani atau lebih terkenal dengan sebutan "Warung Bohay", salah satu warung legendaris di areal samping Gedung DPRD. Ia menyaksikan sendiri transformasi sosial yang dramatis dari rakyat yang dulunya miskin, kini jadi "tidak miskin", hanya karena mampu beli kopi hitam dan rokok Sendang Biru.


“Anak saya seorang jajan sehari bisa lebih Rp 14 ribu. Kalau garis kemiskinan cuma segitu, berarti anak saya udah hidup borjuis dong?” tanya Bu Nani sambil tertawa miris. 


“Mungkin sebentar lagi dia bisa daftar jadi komisaris BUMN," imbuhnya.


Menurut BPS, garis kemiskinan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan sandang. Tapi dalam praktiknya, banyak keluarga yang hidup dengan serba kekurangan tetap dianggap “tidak miskin” karena pengeluarannya sedikit di atas angka statistik.


Di Warung Bohay, diskusi jadi semakin panas dan penuh inovasi. Strategi bertahan hidup mulai dirancang berdasarkan logika statistik.


“Kalau mau tetap masuk data orang miskin dan dapat bantuan, jangan jajan, jangan beli gas, jangan beli sandal baru,” celetuk Mas Rokhim, langganan tetap warung yang juga pakar strategi bertahan hidup di masa bansos.


“Pokoknya pengeluaran harus di bawah garis. Kesejahteraan itu relatif, bantuan itu konkret," katanya.


Kini, garis kemiskinan tak ubahnya garis imajinatif. Naik pelan-pelan setiap tahun, tapi tak pernah benar-benar menyentuh realitas rakyat. Ia lebih mirip ilusi optik yang dari jauh terlihat masuk akal, tapi begitu didekati hanya tinggal angka dan asumsi.


Sementara itu, harga-harga kebutuhan pokok terus melonjak, beras naik, minyak goreng melambung, bahkan kuota internet mulai terasa seperti barang mewah. Tapi tak apa, karena statistik berkata: “Kalian baik-baik saja.”


Di tengah situasi ini, warga mulai bercanda dengan getir.


“Mengatasi kemiskinan itu bukan soal menaikkan pendapatan, tapi soal menurunkan definisinya, modalnya cukup Sendang Biru sebungkus," katanya.


Turunkan ekspektasi, kecilkan standar hidup, dan semua orang bisa jadi sejahtera. Sesederhana itu.


Bu Nani menutup diskusi itu dengan satu kalimat tajam.


“Coba pejabat hidup dengan Rp 420 ribu sebulan. Tapi jangan sambil bawa mobil dinas ya, nanti gak kerasa miskinnya," katanya sambil tertawa.


Ia tertawa sambil menuang kopi, mengibas nyamuk, dan menatap banner besar bertuliskan “Kuningan Melesat”.


Karena dalam negeri statistik, semuanya mungkin. Termasuk menjadi sejahtera hanya dengan sebungkus rokok Sendang Biru.


(red)

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl