
Oleh: Galih Albi
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kuningan
Kabupaten Kuningan saat ini tengah dilanda defisit anggaran yang memaksa banyak dinas dan sektor pelayanan publik melakukan efisiensi secara besar-besaran. Program-program yang seharusnya menyentuh langsung kepentingan masyarakat justru dikurangi atau bahkan dihentikan demi menyesuaikan dengan kondisi fiskal daerah.
Namun, di tengah semangat penghematan yang digaungkan, publik dikejutkan oleh adanya pengadaan karpet untuk rumah dinas senilai Rp 99 juta. Tak berhenti disitu, biaya pemeliharaan rumah dinas kepala dinas bahkan menembus angka Rp 200 juta. Fakta ini menjadi ironi dan menunjukkan ketimpangan dalam implementasi kebijakan anggaran.
Ketika sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, pemadam kebakaran, hingga pemberdayaan desa diminta “ikut puasa anggaran”, para pejabat justru tetap menikmati kenyamanan fasilitas dengan anggaran yang tidak masuk akal.
Padahal, dalam sistem pemerintahan yang baik, pengelolaan anggaran harus tunduk pada prinsip good governance. Prinsip-prinsip ini telah diatur secara jelas dalam berbagai regulasi nasional:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 3 menyatakan bahwa pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 3 menyebutkan bahwa pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan asas-asas umum pengelolaan keuangan negara.
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011), menekankan bahwa belanja daerah harus didasarkan pada skala prioritas dan kebutuhan riil masyarakat.
Ini adalah bentuk nyata tidak diterapkannya asas good governance, khususnya prinsip efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam pengelolaan keuangan daerah. Rakyat diminta bersabar, diminta memahami kondisi, sementara elit birokrasi tetap mempertahankan privilese mereka.
Pejabat yang berwenang tidak boleh dan tidak seharusnya membuat kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat. Terlebih saat ini, Kabupaten Kuningan seharusnya menerapkan penghematan secara menyeluruh: termasuk pada sektor rumah dinas, perjalanan dinas, pengadaan tidak prioritas, dan bentuk pengeluaran lain yang berpotensi menjadi pemborosan.
Jika pemerintah daerah ingin keluar dari jebakan defisit, maka langkah pertama yang harus diambil adalah berbenah secara internal: potong belanja konsumtif, hentikan proyek yang tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan prioritaskan sektor-sektor publik yang bersifat esensial.
Krisis fiskal bukan hanya masalah angka, tapi soal keberpihakan. Apakah anggaran dikelola untuk kepentingan bersama, atau hanya untuk mempertahankan zona nyaman segelintir orang. Pemerintah yang tidak menerapkan asas good governance pada akhirnya akan kehilangan legitimasi di mata publik.
Jika pemerintah daerah tidak menunjukkan komitmen terhadap asas good governance, maka bukan hanya defisit yang akan membesar, tetapi juga krisis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Sudah saatnya Kabupaten Kuningan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan anggaran yang tidak proporsional. Tata kelola pemerintahan yang baik bukan sekadar jargon administratif, melainkan kewajiban moral dan konstitusional yang harus dijalankan demi keadilan dan kesejahteraan bersama.