Perjalanan 100 Hari Kerja: Yang Naik Bukan Kesejahteraan Masyarakat, Tapi Tarif Air!

Jumat, 16 Mei 2025, Mei 16, 2025 WIB Last Updated 2025-05-16T03:33:35Z

Foto Hanya Ilustrasi

KuninganSatu.com,- Seratus hari kerja pemimpin baru di Kabupaten Kuningan akhirnya sampai di garis penanda. Biasanya, ini momen istimewa sebagai ajang menunjukkan keseriusan, gebrakan, atau setidaknya janji-janji kampanye yang masih hangat di telinga rakyat. Tapi tahun ini berbeda. Yang datang bukan angin perubahan, melainkan kabar kenaikan tarif air bersih.


Air, yang seharusnya jadi sumber kehidupan, malah berubah jadi sumber keluhan. Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2025 resmi menetapkan kenaikan tarif air untuk semua golongan pelanggan, dari rumah ibadah yang butuh kekhusyukan, sampai pengusaha besar yang butuh keuntungan. Tempat suci pun kini harus lebih berhitung dalam urusan air wudu.


“Biasanya mandi bisa bikin segar pikiran. Sekarang, harus mikir dulu sebelum mandi. Soalnya tiap tetes air kayak harga kenangan di kampung, mahal dan bikin nyesek,” ujar Andika Ramadhan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kuningan, ketika berbincang bersama kuningansatu.com, Kamis (15/5/2025).


Bagi mahasiswa, kebijakan ini terasa seperti pelajaran hidup yang datang terlalu cepat. Rasanya seperti diajari efisiensi bukan dari buku teks, tapi dari tagihan air yang tiba-tiba melonjak.


“Dulu waktu kampanye, kami disuruh pilih yang katanya peduli. Sekarang disuruh ngerti kalau air juga butuh investasi, dan daerah butuh pendapatan. Tadinya saya kira subsidi air itu bentuk kasih sayang pemerintah. Tapi ternyata, bentuk kasihnya datang lewat tagihan,” ujarnya sambil geleng-geleng kepala.


Perumda Tirta Kamuning, yang selama ini dikenal sebagai penyedia layanan publik, kini punya nama baru di kalangan mahasiswa yakni Tirta Kejutkan Rakyat. Mereka bertanya-tanya, ini strategi mengejar pendapatan daerah, atau cara baru membuat rakyat lebih "sadar air"?


“Kami dengar alasan resminya demi keberlanjutan layanan. Tapi yang paling terasa justru keberlanjutan keluhan warga. Baru saja kami mulai menyesuaikan harga cabai, sekarang air ikut naik. Barang dapur makin bikin dapur berasap,” lanjut Andika.


Dalam aturan baru, pelanggan khusus diberi ruang untuk negosiasi. Tapi rakyat biasa? Harus belajar berdamai dengan kenyataan, bahkan sebelum membuka keran karena tidak diberi ruang negosiasi.


“Katanya, air milik rakyat. Tapi kalau rakyat tak bisa bayar, air itu milik siapa? Saya rasa kalau Karl Marx hidup hari ini, dia mungkin bakal nulis ulang Manifesto Komunis dan kali ini dengan bab baru yakni Krisis Tarif Air,” katanya dengan nada heran bercampur lelah.


Mahasiswa pun mulai berinovasi. Di beberapa kosan, muncul ide ‘mandi bareng hemat tarif’. Bukan soal moral, tapi soal efisiensi. Satu ember untuk tiga orang, lengkap dengan sistem giliran. Semuanya demi bertahan.


“Kami nggak anti kebijakan. Kami cuma pengen ngerti cara berpikir pemerintah, yang kadang lebih susah dipahami dari revisi skripsi,” ucap Andika, sambil tersenyum getir.


“Mungkin ini cara pemerintah mendidik kami jadi tangguh sebelum wisuda. Jadi sebelum ditempa di dunia kerja, kami sudah ditempa lewat tagihan,” tambahnya.


Seratus hari biasanya jadi panggung evaluasi. Tapi sejauh ini, yang bisa dihitung baru satu yakni kenaikan. Kenaikan tarif, kenaikan tensi, dan naiknya suara-suara rakyat yang mencoba bersuara.


“Kalau ini buah dari 100 hari kerja, kami penasaran, buah apa yang akan muncul di tahun pertama? Mudah-mudahan bukan tarif udara,” tutup Andika.


(red)


Komentar

Tampilkan

  • Perjalanan 100 Hari Kerja: Yang Naik Bukan Kesejahteraan Masyarakat, Tapi Tarif Air!
  • 0

Terkini

Topik Populer