Seratus hari kerja pertama merupakan fase krusial bagi Kepala Daerah untuk menunjukkan arah dan keseriusan terhadap janji politik yang telah diucapkan. Masa ini bukan sekadar simbolis, melainkan menjadi fondasi awal dalam mengukur komitmen dan efektivitas pemerintahan dalam menjawab kebutuhan masyarakatnya.
Namun, setelah 100 hari kepemimpinan berlalu, geliat perubahan yang dijanjikan masih belum terasa secara signifikan. Program-program prioritas belum berjalan optimal, sehingga menimbulkan tanda tanya di kalangan Masyarakat Kuningan terkait arah kebijakan pemerintahan saat ini.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran serta proses pengambilan kebijakan dinilai masih perlu ditingkatkan. Tanpa partisipasi aktif masyarakat dan percepatan realisasi program, harapan akan menjadi narasi kosong semata.
Ditambah lagi kejujuran kini kian tergerus oleh kegemaran kita mengemas narasi keberhasilan. Di saat indeks integritas cenderung buruk dan indeks persepsi antikorupsi terus menurun, keterampilan kita memoles “data menjadi citra” semakin piawai.
Kita sering mengklaim bahwa program pembangunan yang akan menjadi prioritas. Program mengentaskan ribuan warga dari kemiskinan, dan Program peningkatan kesejahteraan masyarakat, ini hanya menjadi narasi yang terus di bangun saat berkampanye meyakinkan hati masyarakat. Lalu akhirnya seakan menjadi lupa ingatan.
Di atas kertas, bahkan di media sosial, semua sangat gemerlap. Namun, mari sejenak berjalan kaki ke gang-gang sempit kota, menepi ke desa-desa terpelosok, atau berbincang dengan guru honorer yang gajinya kadang tidak cukup untuk membeli susu anaknya.
Di balik itu semua tersimpan jajan-jalan yang ruksak, rumah-rumahan yang tidak layak, masyarakat yang kelaparan, anak-anak tidak bisa melanjutkan pendidikan, dan tangisan-tangisan yang menjerit meminta kesejahteraan untuk layak hidup sebagai bagian dari masyarakat Kuningan.
Di tengah kondisi keuangan daerah yang sangat terbatas dan komitmen efisiensi anggaran yang terus digaungkan, Pemerintah Kabupaten Kuningan justru malah meluncurkan buku bertajuk “100 Hari Pertama Kerja Dian-Tuti” bahkan dengan anggaran yang fantastis mencapai Rp 100 juta rupiah.
Urgensi Buku 100 Hari kerja perlu dipertanyakan
dengan anggaran yang lumayan pantastis yakni Rp 100 juta rupiah, untuk penerbitan buku tersebut, di nilai tidak memiliki urgensi yang sangat jelas dalam mendorong kemajuan daerah. Di sisi lain, banyak persoalan-persoalan yang bahkan lebih penting ketimbang kegiatan seremonial yang sipatnya eksistensi semata dan terkesan pemborosan.
Efisiensi yang menjadi narasi yang sering digaungkan oleh Bupati Kuningan terbukti hanya slogan Omom-omon semata. Hampir setiap pekan ada agenda-agenda atau acara seremonial mewah, termasuk peluncuran buku, peresmian fasilitas, dan kegiatan protokoler lainnya yang terkesan boros anggaran dan kurang tepat sasaran.
"Kami memastikan setiap pijakan, setiap langkah yang telah kita lalui bersama ini, telah mempertimbangkan tentang apa itu aspirasi rakyat, tentang apa itu kegelisahan rakyat, apa itu tentang suara rakyat, apa itu urgensi, apa itu hanya prioritas, apa yang namanya super prioritas," itu adalah narasi yang pernah di sampaikan oleh Dian Rahmat Yanuar ketika acara peluncuran buku 100 hari kerja.
Sayangnya, seperti pepatah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Sikap ini juga diperlihatkan Pemkab Kuningan terkait beberapa persoalan yang sekarang sedang di hadapi Kabupaten Kuningan.
Yakni gagal bayar yang masih terlunta-lunta entah seperti apa penyelesaiannya, bahkan Pemda sendiri bingung dan tidak maupun untuk mencari solusi yang terbaik dalam memecahkan masalah gagal bayar ini.
Terus juga OB Sekda yang katanya di batalkan oleh Bupati dan ini menjadi sorotan publik, karena untuk OB sekda ini lumayan memakan anggaran yang besar yakni kurang lebih 400 juta rupiah, sampai saat ini ketidak pastian itu menjadi perhatian publik, jika di kaitkan dengan narasi efesiensi dan kepatuhan terhadap aturan yang sudah berjalan, maka ini sangat bertentangan dan terkesan ugal-ugalan.
Di tambah lagi dengan adanya predikat WDP, yang menjadi catatan penting yang harus benar-benar di sikapi oleh Eksekutif maupun legislatif, karena hal ini merubah stigma ketidak percayaan publik terhadap pemerintahan daerah saat ini.
Dengan terus mengulur persoalan-persoalan yang ada dan menambah beban baru, itu melihatkan bahwa pemerintahan sekarang terkesan abai pada kewajibannya yang harus di tunaikan dan tidak mampu menyelesaikan atau bahkan terkesan hanya menyampaikan narasi kosong untuk mengalihkan semua permasalahan yang ada.
Legislatif juga yang seharusnya bagian dari controling terkesan acuh dan tidak melihatkan sisi pengawasan dalam setiap kegiatan atau hal yang seharusnya perlu di tindak, ini juga menjadi pertanyaan besar, apa tugas legislatif selam ini ?.
Kami berharap dengan apa yang kami sampaikan, ini menjadi pengingat untuk Pemkab Kuningan, karena semakin banyaknya PR yang harus di kerjakan maka banyak pula yang harus di korbankan, ini juga adalah bentuk kepedulian kami sebagai social off control, dan masyarakat yang peduli terhadap daerahnya sendiri.
Jika selama ini Pemerintah tidak mampu untuk mendengarkan dan terkesan sulit untuk di ingatkan, apakah kita harus turun kejalan.
Ditulis oleh: Eka Kasmarandana
Ketua Umum HMI Cabang Kuningan