Cijoho, KuninganSatu.com - Di tengah keterbatasan keuangan daerah dan gaung efisiensi anggaran yang terus digaungkan, Pemerintah Kabupaten Kuningan justru meluncurkan buku "100 Hari Pertama Kerja Dian-Tuti" dengan anggaran fantastis mencapai Rp100 juta. Peluncuran buku ini memantik kritik tajam dari berbagai pihak, salah satunya dari Ketua LSM Frontal, Uha Juhana.
Menurut Uha, langkah tersebut menunjukkan ketimpangan kebijakan dan ketidakpekaan terhadap kondisi riil masyarakat Kuningan, khususnya di wilayah-wilayah yang masih masuk kategori miskin ekstrem.
“Buku itu anggarannya Rp100 juta, untuk apa? Apa urgensinya? Sementara di sisi lain, banyak rakyat Kuningan yang bahkan untuk makan saja susah. Pembangunan fisik masih banyak yang terbengkalai. Sekolah-sekolah butuh perbaikan. Ini bentuk pesta pora birokrasi yang tak patut dirayakan,” ujar Uha dengan nada geram, Senin (17/06/2025).
Lebih lanjut, Uha mempertanyakan seberapa besar dampak nyata dari penerbitan buku tersebut terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Jangan-jangan buku itu hanya dikonsumsi oleh segelintir pejabat dan ASN saja. Bagaimana bisa masyarakat umum memahami isinya? Apakah ada distribusi menyeluruh? Atau hanya jadi dokumentasi elitis di tengah rakyat yang terus bergulat dengan kemiskinan?” sambungnya.
Uha bahkan secara terang-terangan menyebut bahwa komitmen efisiensi anggaran yang selama ini disuarakan oleh pimpinan daerah hanyalah omong kosong belaka.
“Itu bohong besar kalau mereka bilang sedang efisiensi anggaran. Buktinya, hampir tiap minggu ada saja acara seremonial yang mewah dan mubazir. Dari mulai peluncuran buku, peresmian ini-itu, sampai pesta-pesta seremonial yang tidak berdampak langsung pada rakyat,” tegasnya.
“Mereka terus foya-foya pakai uang rakyat, tapi giliran rakyat minta bantuan, alasannya selalu keterbatasan anggaran. Ini ironis, dan rakyat harus sadar bahwa anggaran daerah sedang tidak baik-baik saja,” lanjut Uha.
Padahal, Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar selama ini gencar menyuarakan efisiensi APBD dan reformasi birokrasi. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan inkonsistensi antara ucapan dan tindakan.
“Kalau benar ingin efisiensi, seharusnya pengadaan buku semacam ini tidak jadi prioritas. Banyak cara lain untuk menyampaikan capaian kinerja 100 hari secara digital, murah, dan efektif,” tambah Uha.
Di sisi lain, data dari pemerintah pusat masih menunjukkan bahwa Kuningan masuk dalam kategori daerah dengan tingkat kemiskinan ekstrem. Fakta ini membuat peluncuran buku tersebut terkesan mencolok di tengah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang belum membaik.
“Masyarakat butuh bukti nyata, bukan pencitraan. Kalau benar mau bantu rakyat, fokus saja pada pembangunan dasar dan pengentasan kemiskinan. Bukan malah menggelar perayaan dengan anggaran besar demi sebuah narasi 100 hari,” pungkasnya.
Peluncuran buku ini menambah daftar kebijakan Pemerintah Kabupaten Kuningan yang dinilai tidak tepat sasaran dan kurang sensitif terhadap kondisi rakyat. Kritik publik di media sosial pun terus bergulir, mempertanyakan arah kepemimpinan baru yang diharapkan membawa perubahan namun justru mengulang pola lama: glamor di atas penderitaan rakyat.
(red)