Madilog Tan Malaka: Obat Pahit yang Tak Pernah Diminum Republik!
Lebih dari 80 tahun lalu, Tan Malaka menulis Madilog Materialisme, Dialektika, dan Logika sebagai sebuah senjata untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu pikiran lama yang membelenggu kemajuan. Ia menulisnya saat bersembunyi dari penjajah, menyadari bahwa kemerdekaan fisik saja tak cukup bila rakyat masih terpenjara cara berpikir mistis dan irasional.
Namun ironisnya, di tahun 2025 ini, bangsa kita masih saja terjebak dalam pola pikir yang sama. Politik dan kebijakan publik kerap lahir dari emosi, mitos, dan kepentingan elit, bukan dari fakta dan logika yang jelas. Madilog menjadi obat pahit yang tak kunjung ditelan, sementara penyakit kebodohan dan kemiskinan pemikiran semakin menggerogoti republik ini.
Mistisisme, Kanker yang Masih Menggerogoti Republik
Tan Malaka membuka Madilog dengan pernyataan tegas jika bangsa ingin maju harus menyingkirkan mistisisme atau cara berpikir yang menerima keadaan sebagai “takdir” tanpa upaya mencari sebab-akibat. Mistisisme itu dulu bentuk penjajahan pikiran oleh kolonialisme. Kini, ia berubah bentuk menjadi keputusan publik berdasarkan “feeling” pejabat, proyek tanpa analisis ilmiah, dan rakyat yang lebih percaya mitos daripada data.
Contoh nyata sebuah proyek infrastruktur triliunan yang tak transparan kajiannya, tapi dipuja sebagai “ikon kemajuan”. Atau narasi politik yang mengangkat tokoh layaknya penyelamat supranatural. Ini bukan kemajuan, melainkan kolonialisme baru dalam bentuk kebodohan sistemik.
Solusinya? Materialisme ala Madilog yang berpikir dan bertindak berdasarkan data, riset, fakta. Selama mistisisme merajalela, kemerdekaan hanyalah sandiwara berbiaya mahal.
Dialektika: Seni Bertarung Ide yang Dimatikan
Dialektika dalam Madilog adalah seni melihat perubahan lahir dari pertentangan gagasan yang sehat dan konstruktif. Tapi di Indonesia hari ini, perbedaan pandangan sering dianggap ancaman, kritik dibungkam, dan oposisi dicap pengkhianat.
Dalam politik elektoral yang penuh polarisasi, Ruang dialog semakin sempit. Partai dan elit lebih sibuk menjatuhkan lawan ketimbang mencari solusi bersama. Padahal kemajuan sosial lahir dari benturan ide yang menghasilkan sintesis baru, bukan dari keseragaman dan pembungkaman.
Jika demokrasi dibiarkan mati suri oleh intoleransi dan otoritarianisme, maka revolusi pemikiran yang diajarkan Tan Malaka belum juga datang.
Logika: Pagar yang Bolong Diterobos Hoaks dan Propaganda
Logika adalah aturan berpikir yang melindungi kita dari penipuan dan kebohongan. Namun, pagar itu kini bolong-bolong. Hoaks bertebaran, teori konspirasi viral, dan narasi politik yang tak berdasar fakta menguasai ruang publik.
Kebijakan penting seringkali diambil tanpa kajian mendalam, hanya berdasar opini populer atau tekanan kelompok. Rakyat didorong untuk percaya tanpa bukti, terjebak dalam propaganda yang memperalat emosi dan simbolisme.
Padahal, seperti ditegaskan Tan Malaka, logika harus menjadi senjata utama rakyat untuk mengawal kebijakan dan melawan manipulasi.
Madilog dan Masa Depan Bangsa: Pilihan Antara Berpikir atau Terjerumus
Madilog bukan sekadar buku filsafat, ia adalah resep untuk kemerdekaan sejati yakni kemerdekaan berpikir. Tan Malaka mengingatkan bahwa tanpa kesadaran dan kemampuan berpikir kritis, kemerdekaan politik hanyalah fatamorgana.
Di era digital ini, bangsa ini dihadapkan pada banjir informasi dan disinformasi. Jika Madilog tidak diajarkan dan diamalkan secara serius, maka rakyat akan terus menjadi korban tipu daya elit dan menjadi alat politik yang mudah dikendalikan.
Saatnya Republik Ini Menelan Obat Pahit Madilog
Tan Malaka sudah memberi resepnya dengan Madilog. Obat pahit yang bisa menyembuhkan bangsa dari penyakit lama yakni mistisisme, anti-kritik, dan kebodohan intelektual. Resep itu menuntut keberanian untuk berfikir ilmiah, membuka ruang dialog, dan menolak segala bentuk kebohongan.
Pertanyaannya kini ada pada kita semua yakni maukah republik ini benar-benar merdeka? Atau kita akan terus berpuas diri dengan kemerdekaan semu yang cuma jadi panggung sandiwara politik tanpa isi?
Merdeka sejati dimulai dari merdeka berpikir. Dan Madilog adalah kunci yang tak boleh lagi diabaikan.
Ditulis oleh: Imam Royani