
![]() |
Dokumentasi Longsoran di Jalur Hiking Lembah Cilengkrang |
KuninganSatu.com,- Dalam obrolan hangat bersama kuningansatu.com pada Sabtu (17/5/2025), Avo, seorang pengamat lingkungan yang telah lebih dari dua dekade mengamati kawasan Cilengkrang dan sekitarnya, angkat bicara soal bencana longsor yang terjadi di Lembah Cilengkrang baru-baru ini.
Dengan pendekatan berbasis pengamatan lapangan jangka panjang, Avo mengingatkan bahwa bencana ini bukan datang tiba-tiba.
“Ini bukan sekadar fenomena alam biasa. Ini peringatan yang sebetulnya sudah sering muncul, tapi abai kita terlalu keras,” katanya membuka pembicaraan.
Avo menyatakan keprihatinannya atas berkembangnya informasi simpang siur di tengah masyarakat, terutama yang menyangkut lokasi dan penyebab awal longsor.
“Saya hanya ingin meluruskan. Longsor ini tidak berasal dari jalur hiking seperti yang ramai disebut. Sumbernya jelas berasal dari atas, dari longsoran tebing di kawasan wisata Arunika. Jalur hiking itu hanya terkena dampak aliran material dari atas,” tegasnya.
Sebagai orang yang selama ini kerap melakukan observasi terhadap struktur tanah dan pola aliran air di kawasan tersebut, Avo menekankan pentingnya membaca gejala secara menyeluruh. Ia menyebut bahwa longsor ini mengikuti pola yang sebenarnya sudah berulang kali, hanya kali ini lebih besar karena terekspos publik dan viral di media sosial.
Ia juga membantah keras kabar yang menyebutkan bahwa longsor dipicu oleh pipa PDAM yang meledak atau pecah.
“Itu tidak tepat. Justru pipanya pecah karena tertimpa longsoran. Jangan dibalik. Jika penjelasan dasarnya keliru, maka solusi yang disusun bisa salah arah,” katanya.
Terkait pernyataan pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) yang menyebut informasi soal longsor dari kawasan Arunika sebagai hoaks, Avo memberi tanggapan yang cukup menohok.
“Jika pengamatan hanya dilakukan dari titik bawah atau tengah, maka tentu yang dilihat hanyalah dampak, bukan sebab. Longsor itu harus ditelusuri dari hulu ke hilir. Menilai hanya dari satu sudut pandang bisa berbahaya,” jelasnya.
Ia mengatakan bahwa dokumentasi visual dari kawasan atas baik dari warga maupun drone sudah banyak beredar dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut.
“Bukti sudah ada. Sekarang tinggal keberanian kita untuk jujur dan terbuka,” ujarnya.
Sebagai penutup, Avo tidak menyerukan penghentian apapun secara emosional. Ia justru mengajak semua pihak untuk terlibat dalam sebuah evaluasi menyeluruh dan terbuka, yang melibatkan lintas elemen mulai dari pemerintah, pengelola wisata, akademisi, masyarakat sipil, hingga warga lokal yang selama ini bersentuhan langsung dengan kondisi lingkungan.
“Ini momentum untuk belajar. Kita perlu menyusun ulang peta pengelolaan kawasan ini dengan lebih bijak. Kalau kita tetap mengandalkan pendekatan instan dan tidak peduli pada struktur alam, maka longsor berikutnya tinggal soal waktu,” pungkasnya.
(red)