
Oleh : Andika Ramadhan
Dalam rapat paripurna Musrenbang Provinsi Jawa Barat, mencuat sebuah insiden politik yang menggambarkan relasi tak harmonis antara eksekutif dan legislatif. Salah satu fraksi DPRD Provinsi Jawa Barat memilih melakukan walk out sebagai bentuk protes terhadap pernyataan Gubernur Jawa Barat (KDM) yang dianggap meremehkan keberadaan DPRD dalam proses penyusunan regulasi. Pernyataan tersebut dinilai mengesankan bahwa pemerintah provinsi dapat berjalan tanpa melibatkan lembaga legislatif, padahal secara prinsip demokrasi, DPRD merupakan mitra strategis dalam perumusan kebijakan daerah.
Fenomena serupa terjadi di Kabupaten Kuningan. Terbitnya Peraturan Bupati (Perbup) Kuningan Nomor 5 Tahun 2025 yang menjadi polemik ketika anggota DPRD Kabupaten Kuningan mengaku tidak mengetahui isi dan pembahasan perbup tersebut sebelumnya. Ketidakterlibatan legislatif dalam penyusunan peraturan tersebut mencerminkan sangat lemahnya komunikasi dan sinergi antar unsur pemerintahan daerah atau mengindikasikan ketidakharmonisan yang sedang berlangsung, sebuah kondisi yang layak untuk dipertanyakan.
Padahal, meskipun Perbup merupakan hak prerogatif kepala daerah, proses pembuatannya tetap harus memperhatikan asas keterbukaan, partisipasi, dan harmonisasi kebijakan. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, yang menekankan betapa pentingnya partisipasi masyarakat dan lembaga perwakilan dalam setiap tahapan pembentukan regulasi.
Lebih lanjut, dalam konteks otonomi daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Meski Perbup tidak memerlukan persetujuan DPRD secara formal, substansi dari peraturan tersebut harus selaras dengan Peraturan Daerah (Perda) yang merupakan produk bersama eksekutif dan legislatif. Jika Perbup mengatur hal-hal yang berkaitan dengan objek pajak atau retribusi yang sebelumnya telah diatur dalam Perda, maka idealnya perubahan atau pelaksanaannya harus diinformasikan dan dikonsultasikan dengan DPRD.
Pengabaian terhadap DPRD tidak hanya melanggar etika pemerintahan, tetapi juga dapat menimbulkan distrust publik. DPRD adalah representasi rakyat, dan dalam sistem demokrasi, pengambilan kebijakan tanpa keterlibatan representasi rakyat sama halnya dengan mengebiri prinsip kedaulatan.
Diperlukan komitmen politik yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan agar proses legislasi di daerah tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga sah secara moral dan etis di mata publik.
Kabupaten Kuningan, perlu ada pembenahan dalam mekanisme penyusunan regulasi agar nilai-nilai kolaborasi, transparansi, dan etika politik tetap dijunjung tinggi dalam tata kelola pemerintahan daerah.