
KuninganSatu.com,- Kekecewaan mendalam dirasakan para pengusaha pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Kuningan. Meskipun telah menyelesaikan pekerjaan proyek pengadaan barang dan jasa sesuai kontrak dan tenggat waktu, sejumlah pelaku usaha belum juga menerima pembayaran dari Pemerintah Daerah. Kondisi ini menimbulkan keresahan luas di kalangan penyedia jasa yang menggantungkan kelangsungan usahanya dari proyek-proyek pemerintah daerah.
Anton, seorang pengusaha pengadaan barang dan jasa yang telah terlibat dalam berbagai proyek APBD di Kuningan, menyampaikan kekecewaannya setelah proyek pengadaan barang dan jasa yang diselesaikannya sejak akhir 2024 tak kunjung dibayar hingga pertengahan 2025. Padahal pekerjaan tersebut telah diserahterimakan secara sah dan kelengkapan dokumen pencairan dinyatakan memenuhi syarat oleh dinas terkait.
“Kami menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan sesuai spesifikasi. Tapi hak kami diabaikan. Pemerintah seolah menyelamatkan laporan internalnya sendiri dengan mengorbankan nasib kami, para penyedia jasa,” ujar Anton kepada KuninganSatu.com, Jumat (9/5/2025).
Anton bahkan mengaku kecewa ketika mengetahui bahwa proyek pengadaan karpet di gedung pemerintahan yang baru dimulai dan saat ini tengah jadi buah bibir masyarakat justru sudah dicairkan lebih dulu. Menurutnya, hal ini menunjukkan ketimpangan skala prioritas dalam pengelolaan keuangan daerah. Ia menilai pengabaian terhadap proyek yang lebih esensial merupakan bentuk ketidakadilan fiskal dan kelemahan manajerial yang nyata.
Dalam konteks hukum pengadaan barang dan jasa pemerintah, Anton menyoroti bahwa pejabat pembuat komitmen (PPK) semestinya hanya dapat menandatangani kontrak jika anggaran telah tersedia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 11 huruf c Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang mewajibkan PPK untuk memastikan adanya ketersediaan anggaran sebelum menandatangani perikatan. Jika kewajiban ini diabaikan, maka konsekuensinya bukan hanya administratif, tetapi juga dapat berujung pada wanprestasi dari pihak pemerintah.
Berdasarkan prinsip hukum kontrak publik, setiap perikatan antara penyedia dan pemerintah mengikat secara hukum dan wajib dipenuhi sesuai ketentuan dalam dokumen kontrak. Pemerintah daerah tidak bisa secara sepihak menunda atau mengabaikan kewajiban membayar hanya karena alasan internal administrasi, kecuali terdapat kondisi force majeure yang dibuktikan secara objektif dan tertulis. Jika tidak, maka pemerintah sebagai salah satu pihak dianggap telah melakukan pelanggaran kontrak (wanprestasi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1239 dan 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Anton menilai bahwa praktik tunda bayar ini juga berpotensi melanggar ketentuan hukum keuangan negara. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 136 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pemerintah daerah wajib melakukan pembayaran atas pekerjaan yang telah selesai dan dinyatakan diterima secara sah. Tidak adanya pembayaran setelah seluruh proses formal dilalui, menurutnya, merupakan pelanggaran nyata terhadap prinsip tata kelola keuangan yang baik.
Penundaan pembayaran tanpa dasar hukum yang jelas dapat pula dikualifikasikan sebagai bentuk kelalaian atau penyalahgunaan wewenang oleh pejabat daerah. Hal ini dapat membuka ruang pertanggungjawaban secara administratif, perdata, bahkan pidana, tergantung pada derajat kesalahan dan akibat hukum yang ditimbulkan. Jika ditemukan indikasi bahwa penundaan pembayaran ini disengaja atau terjadi karena praktik diskriminatif dalam pencairan, maka pihak penyedia berhak mengajukan gugatan ganti rugi atau bahkan pelaporan kepada aparat penegak hukum dan lembaga pengawas seperti BPK atau Ombudsman.
Dalam praktiknya, para penyedia kerap dirugikan karena posisi tawar yang lemah di hadapan pemerintah sebagai pengguna anggaran. Sebagian dari mereka diduga menandatangani adendum atau kesepakatan pembayaran ulang yang menyimpang dari kontrak awal demi menjaga relasi kerja dan menghindari pencoretan dari daftar penyedia. Padahal, tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip legalitas dan bisa membatalkan perlindungan hukum yang seharusnya mereka miliki.
Anton juga menegaskan bahwa keterlambatan pembayaran tanpa alasan yang sah dapat dikualifikasikan sebagai wanprestasi oleh pemerintah. Dalam perspektif hukum perdata, tindakan ini memenuhi unsur ingkar janji sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 dan Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penyedia berhak menuntut ganti rugi atas kerugian yang timbul, termasuk bunga bank akibat modal kerja yang terpaksa dipinjam, kerusakan reputasi, dan hilangnya kesempatan usaha lainnya.
“Kami ini bukan pemodal besar. Kami bergantung pada arus kas yang sehat. Ketika pembayaran ditunda, kami tetap harus membayar bunga bank. Kami menanggung beban itu sendirian, sementara pemerintah diam,” ujar Anton.
Lebih jauh, Anton menyebutkan bahwa banyak rekan penyedia jasa lain mengalami nasib serupa, namun memilih diam karena khawatir dicoret dari daftar penyedia di proyek tahun berikutnya. Namun bagi dirinya, sikap diam tidak lagi bisa dipertahankan. Ia menegaskan akan menempuh jalur hukum apabila pemerintah daerah tidak segera menyelesaikan kewajiban pembayarannya.
“Ini bukan soal belas kasihan. Ini soal hak. Kami tunduk pada hukum, dan kami menuntut pemerintah daerah juga berlaku demikian. Kalau perlu, kami gugat secara terbuka,” tegas Anton.
Polemik ini menjadi cerminan lemahnya komitmen terhadap prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan publik. Apabila tidak segera ditangani, bukan hanya iklim usaha lokal yang terdampak, tetapi juga kepercayaan publik terhadap tata kelola anggaran daerah akan terus terkikis.
(red)