
Oleh: Mang Kaeling
Yang Datang Serba Hitam
Konon, di suatu malam yang mendung tapi tidak hujan, Gunung Ciremai yang merupakan sosok agung yang selama ini berdiri tegak menjaga bumi Kuningan akhirnya meneteskan air mata. Bukan karena patah hati, bukan juga karena kesepian ditinggal kabut. Tapi karena ia tak kuat lagi melihat dirinya dijadikan korban gaya hidup manusia modern yang katanya cinta alam, tapi lebih cinta selfie di puncak dengan sampah plastik tertinggal.
“Dulu, aku hijau dan asri. Sekarang, aku lebih mirip tempat syuting film post-apocalypse,” keluh Ciremai dalam bisikannya kepada awan.
Dulu, lereng-lereng Ciremai adalah tempat tinggal rusa, trenggiling, dan elang Jawa. Kini, mereka harus berbagi tempat dengan bangunan rumah makan bertema “alam terbuka” yang setiap paginya menyetel lagu dangdut remix, ditemani aroma ayam goreng yang lebih kuat dari bau pinus. Pohon-pohon ditebang demi lahan parkir. Bukit-bukit diratakan demi pembangunan “glamping estetik” dan resort Instagramable yang katanya mengangkat potensi wisata, padahal lebih banyak mengangkat erosi tanah.
Hotel menjamur, bukan seperti bunga edelweis yang dilindungi, tapi lebih seperti jamur liar di musim hujan yang tumbuh cepat, rakus, dan merampas ruang hidup. Slogan “Menginap di kaki Gunung Ciremai” kini lebih laku daripada ajakan “Melestarikan ekosistem kaki gunung”.
Di balik gemerlap lampu taman dan kolam renang infinity, terselip tangis sunyi mata air yang mulai mengering, tanah yang mulai gundul, dan udara yang tak lagi segar, melainkan aroma karbon monoksida dari iring-iringan mobil wisatawan.
Tak hanya pendaki dan pelancong yang mencuri ketenangan Ciremai. Para investor dan pengembang bangunan seolah berlomba menjadi pahlawan pariwisata, dengan menjadikan setiap jengkal tanah sebagai objek kapitalisasi.
“Lahan tidur harus dibangunkan!” katanya. Sayang, yang dibangunkan bukan kesadaran ekologis, melainkan kepentingan ekonomi jangka pendek.
“Eco-resort? Yang benar saja. Itu bukan eco, itu ego!” teriak seekor elang Jawa yang kini harus pindah alamat karena rumahnya dijadikan lahan parkir.
Dan, seperti kisah klasik yang tak pernah bosan diputar ulang, semua ini berujung pada bencana. Hujan turun deras beberapa waktu lalu, dan tanah yang kehilangan pegangan mulai longsor. Beberapa desa di lereng Ciremai sempat jadi korbannya. Beberapa jalan terputus, air untuk masyarakat tercemar material longsor.
Tentu, pemerintah turun tangan. Mereka datang dengan rombongan, bawa rompi, drone, dan janji. Sementara Ciremai hanya bisa menggeleng pelan. Longsor bukan kutukan, tapi konsekuensi dari rakus yang menyamar sebagai pembangunan.
“Kalian bangun vila di punggungku, kalian gali perutku, dan saat aku batuk sedikit, kalian salahkan alam?” Ciremai mengangkat alis, kalau ia punya.
Kondisi ini membuat Ciremai sempat berkonsultasi dengan Gunung Slamet dan Gunung Merapi, berniat untuk migrasi, pindah domisili ke tempat yang lebih menghargai gunung.
Tapi sayangnya, berdasarkan Peraturan Gunung Republik Indonesia, gunung tidak diperkenankan pindah tempat. Akhirnya Ciremai hanya bisa pasrah, menunggu manusia sadar. Atau punah. Mana yang lebih dulu.
Namun jangan khawatir. Pemerintah telah bertindak. Mereka memasang spanduk besar di kaki gunung bertuliskan: "Jagalah Alam, Karena Alam Menjagamu". Sebuah solusi brilian yang tentu saja tidak dimakan rusa, tidak dibaca manusia, dan pelan-pelan lapuk diterpa hujan.
“Sudah cukup aku dijadikan objek wisata, jangan jadikan aku objek penderita,” tulis Ciremai dalam surat terbuka yang dikirim lewat kabut ke langit.
Dan malam itu, Ciremai kembali menangis. Tapi tak ada yang peduli, karena di Instagram, matahari terbit dari puncaknya terlalu indah untuk diimbangi oleh air mata gunung.
Catatan redaksi: Artikel ini adalah satire. Jika Anda merasa tersindir, mungkin karena Anda memang bagian dari masalah.