Cijoho, KuninganSatu.com - Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, kembali melontarkan kritik pedas terhadap kondisi keuangan Pemerintah Kabupaten Kuningan setelah terungkap bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada Tahun Anggaran 2025 yang saat ini sedang berjalan mengalami defisit sebesar Rp 96 miliar. Menurutnya, angka tersebut adalah cerminan dari gagalnya perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah secara profesional dan bertanggung jawab. Dalam pernyataannya kepada media, Uha menyebut bahwa Pemkab Kuningan tak ubahnya seperti “perahu oleng tanpa nakhoda” yang tengah melaju menuju kehancuran.
Ia menilai rancangan perubahan KUA-PPAS tahun 2025 yang sedang dibahas oleh Bupati bersama DPRD hanya menjadi dokumen formal penuh ilusi, tanpa pijakan pada kondisi riil masyarakat Kuningan. Menurutnya, APBD semestinya menjadi instrumen kebijakan yang mampu menjawab tantangan pembangunan, kebutuhan rakyat, serta meningkatkan kualitas hidup warga, bukan malah menjadi beban dan sumber kegelisahan publik.
Pemerintah memang menargetkan pendapatan sebesar Rp 2,830 triliun, naik dari target sebelumnya Rp 2,818 triliun. Kenaikan ini ditopang oleh peningkatan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 6,74% atau Rp 30 miliar lebih, dari semula Rp 445 miliar menjadi Rp 475 miliar. Namun menurut Uha, target ini seperti mimpi di siang bolong jika melihat realisasi selama beberapa tahun terakhir yang kerap tidak tercapai. Tahun lalu saja, target PAD dinaikkan hingga 17,72% tetapi berakhir pada kegagalan realisasi yang memicu krisis pembayaran. Jika kegagalan ini terulang, maka Kuningan akan terjebak dalam siklus gagal bayar yang berulang dan membahayakan keberlangsungan pembangunan.
Tidak hanya soal pendapatan, Uha juga mempertanyakan kenaikan drastis belanja operasi dalam perubahan APBD tahun 2025 yang mencapai Rp 2,272 triliun, lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya dan bahkan melampaui angka pada tahun 2023. Menurutnya, kenaikan ini tidak dibarengi dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas kinerja birokrasi. Belanja pegawai, hibah, barang dan jasa terus meningkat, sementara kualitas pelayanan publik tak kunjung membaik.
Kritik Uha tidak hanya tertuju pada aspek makro anggaran, tapi juga menukik hingga ke persoalan fundamental pembangunan manusia di Kabupaten Kuningan. Ia menilai masih tingginya angka stunting, kemiskinan ekstrem, dan gizi buruk adalah bukti dari kegagalan sistemik pemerintah dalam menjalankan kewajibannya. Padahal, lanjut Uha, belanja bantuan sosial dan hibah terus meningkat, tetapi tak memberikan dampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan warga.
Ia menyoroti lemahnya koordinasi lintas sektor dan minimnya intervensi lapangan dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Menurutnya, kegiatan dinas hanya berputar pada rapat, seremonial, dan publikasi, tanpa pendekatan berbasis data dan fakta.
“Semua kegiatan formal, output-nya minim. Bahkan kegiatan yang menyasar rakyat miskin seolah hanya untuk laporan pertanggungjawaban, bukan untuk menyelesaikan masalah,” katanya, Selasa (24/6/2025).
Di tengah kondisi ini, Uha juga mempertanyakan keberadaan fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Kuningan. Menurutnya, DPRD terlalu lemah dalam mengawal arah pembangunan dan pengelolaan anggaran. Ia menilai pembahasan KUA-PPAS perubahan hanya bersifat normatif dan tak mencerminkan kegelisahan publik.
“Seharusnya DPRD menjadi garda terdepan penyelamat rakyat, tapi mereka malah menjadi tukang stempel kebijakan yang cacat,” tudingnya.
LSM Frontal juga mencatat banyaknya janji program prioritas Pemkab Kuningan yang hanya sekadar slogan. Uha menyebut, program-program seperti “Kuningan Melesat”, “Desa Digital”, dan “Revitalisasi Pasar” tidak pernah menyentuh substansi. Ia bahkan menilai banyak program yang diluncurkan hanya memperbesar anggaran promosi, tanpa disertai landasan kebijakan yang kuat.
“Berapa banyak baliho dan spanduk ‘Kuningan Melesat’ yang dipasang, sementara pasar-pasar rakyat sekarat,” ucapnya dengan nada sinis.
Uha turut menyoroti keberadaan BUMD yang selama ini diklaim menjadi penyumbang PAD. Ia menilai kinerja BUMD di Kuningan sangat minim kontribusinya terhadap pendapatan daerah, bahkan sebagian justru membebani APBD. Ia mendesak audit menyeluruh terhadap seluruh BUMD, termasuk transparansi laporan pertanggungjawaban keuangannya kepada publik.
“Jangan sampai BUMD cuma jadi tempat parkir politikus atau kerabat pejabat,” tegasnya.
Dalam hal tata kelola keuangan, Uha menduga bahwa lemahnya sistem perencanaan disebabkan oleh absennya reformasi manajemen anggaran berbasis kinerja. Ia mendesak Pemkab Kuningan segera menggunakan indikator manfaat dan dampak dalam menyusun kegiatan, bukan sekadar realisasi fisik dan penyerapan anggaran.
“Realisasi anggaran tinggi, tapi rakyat tak merasakan manfaat. Itu pertanda pemborosan,” jelasnya.
Ia pun menuntut agar Plh Sekda dan jajaran TAPD membuka ruang dialog publik untuk menjelaskan secara transparan bagaimana postur anggaran APBD Kuningan 2025 disusun. Menurutnya, selama ini publik hanya dijejali angka-angka tanpa penjelasan yang mudah dipahami masyarakat.
“Pemerintah wajib menjelaskan kepada rakyat, bukan hanya kepada legislatif. Keterbukaan informasi adalah hak publik, bukan hadiah,” ucap Uha.
Uha juga tidak lupa menyoroti kinerja Plh Sekda Kuningan, Beni Prihayatno, yang menjabat sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Sebagai koordinator pengelolaan keuangan daerah, Beni dinilai gagal menjalankan fungsi strategisnya. Dalam situasi genting seperti ini, kata Uha, diam bukanlah pilihan. Justru menunjukkan ketidakmampuan dan pembiaran terhadap krisis yang terjadi.
“Plh Sekda itu punya tanggung jawab besar, tak bisa hanya diam dan membiarkan semuanya terbakar. Jika yang bersangkutan selaku Ketua TAPD tidak mampu menjaga akurasi dan profesionalisme dalam tata kelola anggaran daerah, maka posisinya pantas dicopot” katanya lantang.
Sorotan tajam juga diarahkan pada turunnya opini audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan Pemkab Kuningan tahun anggaran 2024 dari Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Bagi Uha, ini adalah bentuk kegagalan serius dan kemunduran dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Terlebih berdasarkan informasi bahwa saat ini BPK sedang melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap tata kelola keuangan Pemkab Kuningan. Pemeriksaan ini bukan sembarangan. PDTT dilakukan karena adanya indikasi kuat penyimpangan atau ketidakpatuhan terhadap regulasi, termasuk dugaan penyalahgunaan keuangan yang merugikan negara.
Ia pun mengingatkan bahwa kegagalan sistemik APBD Kuningan tahun 2025 ini bisa berdampak pada tahun-tahun berikutnya, termasuk risiko bertambahnya hutang jangka pendek dan munculnya utang-utang tersembunyi (hidden liabilities) kepada pihak ketiga. Ia menegaskan bahwa krisis fiskal bisa menjadi krisis kepercayaan jika tidak segera direspons dengan agenda reformasi birokrasi menyeluruh.
“Jangan tunggu sampai investor, mitra, dan masyarakat kehilangan kepercayaan,” kata Uha.
Sebagai penutup, Uha menyampaikan bahwa pihaknya siap menyerahkan kajian lengkap dari hasil monitoring LSM Frontal terhadap postur APBD perubahan tahun 2025 kepada BPK, KPK, dan Ombudsman RI. Ia berharap agar lembaga-lembaga pengawas negara tersebut turut memperkuat pengawasan terhadap pengelolaan keuangan Kabupaten Kuningan yang kondisinya memilukan.
“Ini bukan hanya masalah anggaran, ini soal hak rakyat yang dirampas oleh ketidakbecusan birokrasi penyelenggara pemerintahan,” ujarnya.
Dengan suara lantang, Uha Juhana kembali mengingatkan seluruh elemen masyarakat agar tak lengah. Ia menyerukan agar publik terlibat aktif dalam mengawasi pembahasan anggaran dan tidak segan-segan menyampaikan kritik, laporan, ataupun aspirasi.
“Jangan biarkan penguasa bekerja dalam ruang gelap. APBD adalah hak rakyat. Dan hak itu harus kita rebut kembali dari tangan-tangan pejabat yang tidak amanah,” pungkasnya.
(red)