Ancaran, KuninganSatu.com - Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kuningan kembali memicu gelombang kritik tajam. Anomali dalam data keuangan daerah yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak disertai penjelasan resmi dianggap sebagai bukti buruknya tata kelola fiskal pemerintah daerah.
Seorang pengamat kebijakan publik, Sjed, menyebut situasi keuangan Kuningan telah masuk dalam tahap "kegagalan sistemik". Ia merespons keras perubahan realisasi pendapatan daerah yang tercatat terjadi antara awal hingga pertengahan Juni 2025. Data yang semula menunjukkan angka Rp1,3 triliun, mendadak anjlok menjadi Rp669 miliar. Ironisnya, tidak ada revisi APBD, berita acara resmi, ataupun pemberitahuan kepada publik.
"Ini bukan sekadar salah ketik. Ini salah kelola yang disengaja atau dibiarkan. Kalau semua pejabat tahu, tapi tidak bertindak, itu bukan ketidaktahuan melainkan kejahatan kolektif," kata Sjed, Senin (24/6/2025), dalam keterangan tertulisnya.
Ia menilai perubahan mendadak ini sangat tidak masuk akal. Menurutnya, hanya ada dua kemungkinan di balik fenomena tersebut yakni data dimanipulasi atau dana sudah digunakan tanpa prosedur yang benar. Sjed pun mempertanyakan peran DPRD dalam menyikapi hal ini. "Ketika rakyat mulai sadar, kenapa justru dewan diam? Diamnya mereka bukan netral, tapi memihak pembiaran."
Tak hanya itu, ia juga menyoroti lemahnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya menyumbang sekitar 15 persen dari total pendapatan APBD. Sisanya, Kuningan masih menggantungkan diri pada dana transfer dari pusat. Lebih mencurigakan lagi, menurut data yang ia kutip dari berbagai sumber resmi, belanja tak terduga (BTT) telah terserap hingga lebih dari 76 persen, meski tidak ada bencana atau keadaan darurat yang relevan.
"Yang darurat itu bukan kondisi alam, tapi moral birokrasi. Bagaimana bisa belanja pembangunan untuk rakyat justru minim serapan, sementara dana tak terduga seolah dipakai untuk hal-hal yang tidak jelas?" kritiknya.
Fenomena gagal bayar pun kembali terjadi tahun ini, menandai dua tahun berturut-turut Kuningan tidak mampu menunaikan kewajiban anggarannya secara penuh. Pemerintah daerah yang saat ini menerima WDP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menjadi dasar kecuriagaan adanya pola penyesatan data dan potensi fraud yang bersifat sistematis.
"Label WDP itu alarm keras. Kalau uang rakyat dipakai tanpa kontrol, maka tunggu saja, Kemendagri bisa ambil alih kapan saja," ujar Sjed, memperingatkan.
Sikap permisif DPRD Kuningan dalam menyikapi krisis ini juga tak luput dari sorotan. Ia menilai bahwa lembaga legislatif telah gagal menjalankan fungsi kontrol. Alih-alih mempertanyakan dan mengusut kebijakan anggaran yang mencurigakan, para wakil rakyat justru terkesan tutup mata dan membiarkan eksekutif terus melaju tanpa rem.
"Bupati dan dewan malah saling memaklumi. Toleransi semacam ini adalah penyebab utama kenapa Kuningan bisa ambruk secara fiskal. Ini bukan lagi soal teknis, tapi soal keberanian melawan penyimpangan," tegasnya.
Sjed juga menyindir pola birokrasi Kuningan yang menurutnya masih terjebak dalam kultur lama yang lamban, tertutup, dan berorientasi pada kekuasaan, bukan pelayanan. Ia menyebutnya sebagai “birokrasi pola lama yang kini tampil seolah tingkat dewa, padahal tetap amburadul.”
Sebagai solusi, Sjed mengusulkan langkah-langkah radikal dan terbuka. Ia meminta dilakukan audit forensik atas seluruh transaksi anggaran daerah, terutama terkait pendapatan yang janggal dan belanja tidak terduga yang membengkak.
Selain itu, ia menuntut forum terbuka yang menghadirkan Bupati, Kepala BPKAD, Bappenda, dan seluruh pimpinan OPD untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan anggaran di hadapan publik.
"Kalau memang benar dan tidak ada yang disembunyikan, buka semua data ke rakyat. Buka realisasi pajak, serapan belanja, posisi kas daerah, dan semua transaksi besar. Biar masyarakat menilai, bukan hanya auditor atau birokrat," serunya.
Dalam nada sindiran khas, ia menyampaikan wacana agar Pemkab Kuningan belajar ke daerah lain yang dianggap lebih maju dalam tata kelola fiskal.
“Kalau perlu studi tiru ke daerah lain yang lebih baij. Rakyat ikhlas dana untuk studi tiru, asal bukan studi tipu,” ucapnya dengan nada getir.
Di akhir pernyataannya, Sjed menegaskan bahwa semua ini bukan lagi soal anggaran, tetapi soal keberanian moral.
"Loyalitas pada kejujuran tidak boleh berhenti di rapat. Harus diterjemahkan dalam keputusan nyata. Kalau terus saling toleransi terhadap transaksi di atas dan di bawah meja, maka bukan mustahil Kuningan akan disita bukan hanya oleh Kemendagri, tapi oleh sejarah," pungkasnya.
(red)