masukkan script iklan disini
Cijoho, KuninganSatu.com - Hingga pertengahan tahun 2025, keresahan akut melanda para pelaku usaha pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Kuningan. Pemerintah Daerah belum juga melunasi pembayaran proyek-proyek tahun anggaran 2024, bahkan yang lebih mengejutkan lagi, kewajiban tunda bayar dari APBD murni dari tahun 2023 pun belum terselesaikan. Kondisi ini telah menjerat para rekanan ke dalam krisis finansial serius. Dari tekanan bunga pinjaman bank yang terus berjalan hingga ancaman gulung tikar usaha membayangi.
Diberitakan sebelumnya, salah satu penyedia jasa, Anton, mengungkapkan kekecewaannya terhadap situasi yang dinilainya semakin tidak masuk akal. Ia menyebut proyek pengadaan tahun 2024 yang ditanganinya telah diselesaikan sesuai kontrak dan spesifikasi teknis. Bahkan seluruh dokumen pencairan, menurutnya, sudah dinyatakan lengkap oleh dinas terkait. Namun hingga pertengahan 2025, tak sepeser pun dibayarkan.
“Kami menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan sesuai spesifikasi. Tapi hak kami diabaikan. Pemerintah seolah menyelamatkan laporan internalnya sendiri dengan mengorbankan nasib kami para penyedia jasa,” ujar Anton, kecewa.
Anton juga mengungkapkan kekesalannya saat mengetahui bahwa proyek-proyek baru, seperti pengadaan karpet di salah satu gedung pemerintahan, justru sudah dicairkan lebih dulu. Ia menilai ini sebagai bentuk ketimpangan skala prioritas dan manajerial yang amburadul.
“Kami bukan pemodal besar. Kami bergantung pada arus kas yang sehat. Ketika pembayaran ditunda, kami tetap harus membayar bunga bank. Kami menanggung beban itu sendirian, sementara pemerintah diam,” tambahnya.
Anton pun mengancam akan membawa perkara ini ke jalur hukum jika tak ada langkah tegas dari pemerintah.
Kekecewaan serupa dilontarkan oleh H. Dedi Rosadi, Direktur CV Maharani. Ia menyatakan bahwa proyek tahun anggaran 2024 yang ditanganinya telah dilaksanakan selama 90 hari sesuai Surat Perjanjian Kerja (SPK) tanpa satu pun pelanggaran aturan. Namun, pembayaran justru digantung selama setahun penuh.
“Pekerjaan 3 bulan dikerjakan sesuai aturan, tanpa ada salah aturan, bagus-bagus saja. Tapi pembayaran ditunda selama 1 tahun. Itu bagaimana hukumnya? Mengabaikan hak rekanan sebagai pengusaha jasa konstruksi,” tegas Dedi, dikutip dari InilahKuningan.com.
Dedi juga menyentil sistem pencairan yang dianggap ‘by request’ dan pilih kasih, yang semakin menyulitkan rekanan skala kecil untuk bertahan. Ia mendesak agar pemerintah daerah segera menyelesaikan tunggakan pembayaran sebelum membuka kembali kegiatan anggaran baru.
Pernyataan kedua rekanan ini disambut keras oleh Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, yang menyatakan bahwa keterlambatan pembayaran bukan hanya terjadi di tahun anggaran 2024, melainkan juga menumpuk sejak tahun 2023. Bahkan, kata Uha, terdapat pekerjaan di Dinas Perhubungan pada tahun 2023 yang hingga kini belum dibayar.
Pernyataan Uha diperkuat data dokumen resmi Pemerintah Daerah berupa Surat Nomor 500.11.7/1729/Prasarana tertanggal 3 Juni 2025, yang menyebutkan bahwa sejumlah kegiatan tahun anggaran 2023 belum dilakukan penerbitan SPP/SPM hingga akhir tahun. Pemerintah melalui Plh. Sekda Kuningan bahkan meminta Inspektorat untuk melakukan review terhadap kegiatan tersebut.
Dokumen itu menjadi senjata kritik tajam dari Uha, yang menyebut keterlambatan dua tahun lebih sebagai kegagalan struktural sistemik.
“Memalukan! Kegiatan dalam APBD murni tahun 2023 belum dibayar sampai sekarang, padahal sekarang sudah masuk anggaran berjalan semester pertama tahun 2025. Dan Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar waktu itu menjabat sebagai Sekda sekaligus Ketua TAPD. Ini bukti bahwa dia bagian dari rezim gagal bayar!” tegas Uha, Rabu (18/6/2025).
Uha juga menyoroti keputusan Pemerintah Kabupaten Kuningan yang justru mengangkat Beni Prihayatno yang saat itu menjabat sebagai Kadis Perhubungan ketika proyek bermasalah berlangsung menjadi Penjabat Sekda.
“Beni itu waktu jadi Kadishub nggak becus bekerja menyelesaikan kewajiban, kok sekarang malah diangkat jadi Pj Sekda? Dunia terbalik!” kecamnya.
Tak hanya menyerang pada tataran birokrasi, Uha mengingatkan bahwa dampak dari penundaan pembayaran ini telah menyentuh aspek kemanusiaan yang lebih dalam.
“Banyak rekanan yang hidupnya sengsara. Usaha gulung tikar, rumah tangga hancur, dan tidak bisa lagi bekerja. Ini bukan sekadar persoalan fiskal, ini menyangkut nasib orang banyak!”
Lebih lanjut, Uha memperingatkan bahwa jika pemerintah mencoba mencairkan kegiatan tahun anggaran 2023 dengan menggunakan APBD 2025, maka itu sangat berbahaya secara hukum.
“APBD tahun 2023 kan sudah tutup buku. Kalau dimasukkan ke dalam APBD 2025 agar bisa dicairkan, itu akal-akalan hukum. Ceuk urang Betawi mah, muke gile!” pungkasnya.
Situasi ini membuka borok manajemen keuangan daerah yang menjadi alarm bagi aparat penegak hukum untuk bertindak. Ironisnya, para rekanan masih harus bertahan dalam tekanan menanti hak mereka yang tertahan tanpa ada ujung kepastian.
(red)