Kamus Pokir telah ditetapkan. Menu prioritas pembangunan daerah telah dirinci rapi. Dan DPRD Kabupaten Kuningan, lewat surat resminya tertanggal 1 Juli 2025, telah menyatakan patuh bahwa seluruh usulan Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) tahun anggaran 2026 hanya boleh disusun berdasarkan daftar tersebut. Tak lebih, tak kurang.
Di permukaan, ini tampak sebagai langkah untuk menertibkan sistem, menyelaraskan rencana legislatif dengan arah pembangunan daerah versi eksekutif. Namun di balik bahasa yang administratif dan prosedural itu, sesungguhnya tersembunyi tragedi yang lebih dalam yakni marwah DPRD sebagai wakil rakyat telah dikebiri secara halus oleh sistem.
Pokir, sebagai bentuk artikulasi aspirasi rakyat yang diserap langsung oleh anggota dewan melalui reses, forum warga, hingga percakapan informal di warung kopi, kini dipaksa untuk bertekuk lutut di hadapan katalog. Aspirasi tak lagi ditakar dari urgensinya di lapangan, tapi dari kesesuaiannya dengan sistem. Bukan soal seberapa dibutuhkan, tapi seberapa sesuai.
Apakah ini demokrasi yang kita perjuangkan? Demokrasi yang menyuruh wakil rakyat menjadi pemadat menu yang ditentukan birokrasi?
Ketika DPRD dengan sadar menghimbau anggotanya untuk hanya mengusulkan pokir dari Kamus Usulan, maka yang terjadi bukan hanya penghematan administrasi. Yang terjadi adalah pergeseran posisi dari lembaga pengontrol dan penyambung lidah rakyat, menjadi operator sistem yang membungkam aspirasi yang tidak sistemik.
DPRD bukan biro teknis. DPRD bukan pelaksana aturan eksekutif. DPRD adalah lembaga politik yang hidup dari dinamika, kritik, dan keberanian menyuarakan hal-hal yang belum masuk daftar. Itulah marwah dan kehormatan yang seharusnya dijaga.
Ketika marwah itu ditanggalkan demi kenyamanan prosedur dan kepatuhan sistem, maka yang tersisa hanyalah bangunan formalitas. Rakyat yang berteriak di luar Kamus takkan didengar. Dan anggota dewan yang mencoba melampaui sistem, akan dianggap menyimpang.
Lebih menyedihkan, pelemahan ini dilakukan secara legal, sistematis, dan diam-diam. Tanpa protes. Tanpa diskusi. Bahkan dilegalkan lewat surat resmi DPRD sendiri.
Inilah bentuk paling menyedihkan dari pelepasan tanggung jawab moral ketika wakil rakyat membatasi dirinya sendiri, bukan karena dipaksa, tapi karena terlalu patuh pada narasi keteraturan.
Tentu, sistem dibutuhkan. Tentu, Kamus Usulan adalah alat bantu untuk menjaga sinkronisasi. Namun sistem tidak boleh mematikan kreativitas politik. Katalog tidak boleh menginjak ruang aspirasi. Dan administrasi tidak boleh menggantikan fungsi representasi.
Sungguh, tak ada yang salah dengan keteraturan. Tetapi keteraturan yang menyingkirkan keberpihakan adalah bahaya laten. Karena dari situlah demokrasi menjelma menjadi rutinitas kosong yang nyaman di meja, tapi asing di hati rakyat.
Sudah saatnya DPRD Kuningan menyadari posisi sejarahnya. Bahwa mereka bukan penjaga katalog, melainkan penjaga suara rakyat. Bahwa mereka bukan penyesuai sistem, tetapi penggerak arah. Dan bahwa marwah bukan sekadar simbol, tetapi keberanian untuk berbeda ketika rakyat membutuhkannya.
Jika DPRD membiarkan Kamus Pokir menjadi kitab suci yang tak boleh dibantah, maka mereka telah kehilangan alasan keberadaannya. Yang tersisa hanyalah prosedur tanpa nyawa, sistem tanpa jiwa, dan lembaga tanpa arah.
Ditulis oleh: Redaksi KuninganSatu.com
Menjaga Marwah Demokrasi, Saat Yang Lain Memilih Diam