Fenomena gagal bayar yang menimpa Kabupaten Kuningan bukan sekadar soal administrasi fiskal semata, melainkan juga cerminan retaknya jalinan kepercayaan antara pemerintah daerah dengan warganya sendiri (Mardiasmo, 2018). Di banyak ruang publik, wacana gagal bayar terus bergulir sebagai keluhan nyata dari berbagai pihak: mulai dari pedagang kecil yang suplai barangnya belum dibayar, rekanan kontraktor lokal yang terpaksa berhutang ke bank demi menutupi biaya operasional proyek, hingga pegawai honorer yang harus menahan sabar menunggu upah yang menjadi hak dasar mereka untuk menghidupi keluarga.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, setiap pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk mengelola keuangan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, serta bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan (Republik Indonesia, 2014). Sayangnya, prinsip hukum tersebut kerap kali terabaikan dalam praktiknya. Di lapangan, janji pembayaran proyek sering kali molor berbulan-bulan bahkan melewati tahun anggaran berjalan. Sementara itu, pembangunan fisik yang mangkrak di beberapa titik menjadi pemandangan yang tidak asing bagi warga setempat. Tenaga honorer di berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pun harus rela menunda kebutuhan hidupnya karena gaji mereka tidak kunjung dibayarkan sesuai jadwal.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diterbitkan beberapa tahun terakhir pun turut memperkuat temuan ini. Dalam LHP tersebut, BPK menegaskan bahwa postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kuningan menunjukkan tren defisit struktural yang berulang setiap tahun (BPK RI, 2022). Hal ini berarti beban belanja pemerintah, terutama belanja pegawai dan belanja modal, tidak diimbangi dengan pendapatan riil yang benar-benar masuk kas daerah. Proyeksi Pendapatan Asli Daerah (PAD) kerap dipatok terlalu tinggi tanpa dibarengi inovasi dan penegakan regulasi yang memadai, sehingga target pendapatan lebih banyak berakhir di atas kertas.
Kondisi ini semestinya menjadi alarm keras bagi jajaran birokrasi dan para pengambil kebijakan, betapa rapuhnya fondasi tata kelola fiskal di daerah. Padahal, dalam manajemen keuangan publik, prinsip value for money menekankan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan harus benar-benar memberikan manfaat optimal bagi masyarakat, bukan malah menimbulkan utang kewajiban yang membebani generasi berikutnya (Mardiasmo, 2018). Pada akhirnya, rakyat Kuninganlah yang harus menanggung risiko kebijakan yang tidak realistis ini, meski sesungguhnya rakyat adalah pemilik sah anggaran melalui mekanisme pajak dan retribusi yang mereka bayarkan setiap tahun.
Konteks Historis: Janji Pembangunan di Panggung Defisit
Sejak awal dekade 2000-an, Kabupaten Kuningan gencar mengusung narasi sebagai kabupaten agropolitan yang maju, mandiri, dan berdaya saing (Pemkab Kuningan, 2021). Visi ini diterjemahkan melalui berbagai proyek infrastruktur: revitalisasi pasar, perbaikan jalan, pembangunan objek wisata, dan perluasan layanan publik.
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018–2023, Pemda Kuningan berulang kali menargetkan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber pembiayaan utama (Bappeda Kuningan, 2019). Namun, realisasi di lapangan tak seindah rencana di atas kertas.
Berdasarkan laporan APBD, kontribusi PAD Kuningan masih stagnan di kisaran 7–10% dari total pendapatan daerah (BPK RI, 2022). Selebihnya bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Transfer Pusat yang rentan penundaan.
Di sisi lain, belanja rutin, terutama belanja pegawai, terus membengkak hingga menggerus ruang fiskal untuk belanja modal (Putra & Sari, 2020). Akibatnya, proyek-proyek fisik dijalankan dengan skema tunda bayar atau menumpuk hutang pihak ketiga.
Hal inilah yang pada akhirnya memicu gelombang gagal bayar, merembet ke berbagai lapisan sosial. Menurut Nugraha (2022), praktik belanja yang tidak disiplin menjadi faktor dominan kegagalan fiskal di banyak daerah, termasuk Kuningan.
Dampak Konkret: Mata Rantai Ekonomi Lokal Tersendat
Ketika pemerintah daerah gagal membayar kewajibannya, dampak paling nyata dirasakan oleh pelaku ekonomi lokal. Banyak kontraktor terpaksa menunggak pinjaman modal kerja di bank lantaran pembayaran dari Pemda tak kunjung cair (Kusumawati, 2023).
Dalam laporan investigasi media lokal, seorang pengusaha jasa konstruksi mengaku harus menjual aset pribadi demi membayar gaji tukang (Radar Kuningan, 2024). Beban psikologis pun menumpuk di tengah lesunya sektor riil.
Warung makan di sekitar lokasi proyek sepi, karena buruh bangunan tidak lagi punya uang makan (Iskandar, 2023). Anak-anak pekerja pun terancam putus sekolah karena pendapatan keluarga terputus. Ini membuktikan betapa kebijakan fiskal tidak bisa dilepaskan dari hajat hidup rakyat kecil.
Selain sektor konstruksi, fenomena gagal bayar juga menghantam tenaga honorer di berbagai OPD. Mereka yang bertugas sebagai tenaga kebersihan, petugas keamanan, dan admin non-ASN kerap menjadi korban terabaikkan (Rohman, 2023).
Padahal, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Republik Indonesia, 1945). Sayangnya, tanggung jawab moral ini sering kalah oleh kepentingan seremonial.
Narasi Pembangunan: Panggung Retorika Tanpa Fondasi
Fenomena gagal bayar tidak lahir di ruang hampa. Ia adalah konsekuensi logis dari prioritas pembangunan yang lebih mementingkan proyek mercusuar daripada ketahanan fiskal (Wijaya, 2020).
Dalam banyak kesempatan, pejabat daerah lebih suka meresmikan taman kota, tugu, atau proyek revitalisasi pasar yang diabadikan dengan potret di media sosial (Maulana, 2023). Namun, aspek tata kelola keuangan jarang menjadi bahan evaluasi terbuka.
Prinsip good governance menuntut adanya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas (Dwiyanto, 2018). Sayangnya, narasi pencitraan sering mengaburkan kegagalan substansi. Proyek diresmikan megah, tapi rekanan menjerit menanti bayaran.
Fenomena ini paralel dengan kritik Joseph Stiglitz (2010) tentang information asymmetry, di mana pemerintah menutup informasi penting, sedangkan rakyat dibiarkan menanggung risiko. Ketika informasi defisit disembunyikan, publik tidak siap menghadapi dampaknya.
Kritik Moral: Etika Birokrasi yang Hilang
Etika birokrasi publik seharusnya berlandaskan prinsip keadilan, transparansi, dan tanggung jawab moral (Denhardt & Denhardt, 2015). Namun, dalam kasus gagal bayar, spirit ini tampak hilang.
Seringkali, pejabat saling lempar tanggung jawab. Satu pihak menyalahkan realisasi PAD yang tak tercapai, pihak lain berdalih Dana Transfer Pusat yang tertunda (Rohman, 2023). Namun, di mana mitigasi?
Sebagaimana diingatkan Osborne & Gaebler (1993), pemerintahan modern harus bertindak sebagai steering, bukan hanya rowing. Artinya, manajemen risiko fiskal seharusnya menjadi fokus, bukan dikesampingkan.
Kepercayaan publik pun tergerus. Dalam survei yang dilakukan LSM Transparansi Kuningan (2024), lebih dari 60% warga mengaku skeptis dengan janji pemerintah menyelesaikan tunda bayar. Ini alarm serius bagi legitimasi kepemimpinan.
Perspektif Akademis: Belajar dari Daerah Lain
Fenomena gagal bayar di Kabupaten Kuningan seharusnya menjadi cermin refleksi serius bagi para pengambil kebijakan, birokrat, dan pengawas anggaran. Dalam perspektif kebijakan publik, tata kelola fiskal daerah yang baik menuntut prinsip smart budgeting, yakni perencanaan anggaran berbasis data akurat, pengendalian defisit, serta inovasi pendapatan yang berkelanjutan (Prabowo, 2022). Sayangnya, prinsip ini belum sepenuhnya tertanam dalam kultur birokrasi di Kuningan, yang masih cenderung terpaku pada pola rutin dan seremonial.
Sebagai perbandingan, beberapa daerah lain di Indonesia berhasil membuktikan bahwa disiplin fiskal bukan sekadar wacana. Kabupaten Banyuwangi sering disebut sebagai contoh praktik baik smart budgeting. Melalui digitalisasi pajak daerah dan simplifikasi perizinan usaha, Banyuwangi berhasil meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa membebani rakyat kecil dengan pungutan baru yang memberatkan (Yuliani, 2021). Transformasi ini tak lepas dari kemauan politik pimpinan daerah untuk membuka kanal transparansi dan memberdayakan teknologi informasi.
Kota Surabaya juga menjadi rujukan menarik. Dengan reformasi birokrasi yang konsisten, Surabaya berhasil menekan porsi belanja pegawai yang semula membengkak. Rasionalisasi tunjangan, efisiensi penempatan pegawai, hingga evaluasi kinerja rutin membuat belanja pegawai tidak lagi menjerat fiskal kota (Putra & Sari, 2020). Dana yang dihemat dialihkan untuk belanja modal yang benar-benar produktif, seperti pembangunan infrastruktur dasar dan layanan publik yang inklusif.
Dalam literatur administrasi publik, praktik baik ini dikenal sebagai benchmarking belajar dari keberhasilan daerah lain dengan menyesuaikan kondisi lokal (Mardiasmo, 2018). Sayangnya, di Kuningan, political will yang seharusnya mendorong inovasi fiskal sering terjebak dalam pola populisme. Penekanan pada seremoni peresmian proyek besar, yang kadang tidak berbanding lurus dengan kemampuan kas daerah, justru memperlebar jurang defisit.
Jika ingin bangkit dari lingkaran gagal bayar, Kuningan harus berani meniru praktik baik ini dengan serius. Tidak cukup hanya kunjungan studi banding, tetapi juga diikuti komitmen mengubah pola kerja birokrasi ke arah yang lebih rasional, transparan, dan berkelanjutan (Dwiyanto, 2018). Sebab pada akhirnya, kesehatan fiskal bukan hanya angka di neraca, melainkan jaminan bahwa hak-hak rakyat dari buruh bangunan, pedagang pasar, hingga guru honorer tidak lagi dikorbankan oleh ambisi sesaat.
Rekomendasi: Jalan Pembenahan yang Mendesak
Kritik terhadap fenomena gagal bayar di Kabupaten Kuningan tentu tidak akan berarti apa-apa jika tidak diikuti dengan tawaran perbaikan yang realistis dan terukur. Karena itu, langkah-langkah rekomendasi berikut penting untuk dipertimbangkan sebagai upaya nyata keluar dari krisis fiskal yang membelit daerah. Pertama, Pemerintah Daerah Kuningan harus berani menata ulang target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan dasar perhitungan yang valid, terukur, dan berbasis data riil di lapangan, bukan sekadar angka optimistis di atas kertas (Mardiasmo, 2018). Tanpa basis data yang kuat, proyeksi PAD hanya akan menjadi beban target yang tidak realistis, memicu defisit, dan akhirnya membuka celah praktik gagal bayar yang berulang.
Selain itu, intensifikasi pajak dan retribusi daerah wajib dibarengi dengan pembenahan pelayanan publik yang transparan, cepat, dan bebas pungli, sehingga warga merasa yakin bahwa setiap rupiah pajak yang dibayarkan dikelola dengan baik dan dikembalikan dalam bentuk layanan yang berkualitas (Dwiyanto, 2018). Penerapan digitalisasi pajak daerah juga dapat menjadi solusi praktis untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus menutup kebocoran pendapatan.
Kedua, pola belanja daerah harus dikaji ulang secara menyeluruh. Porsi belanja rutin pegawai yang kian membengkak setiap tahun perlu diseimbangkan dengan rasionalisasi beban kerja dan evaluasi kebutuhan riil formasi ASN maupun non-ASN (Putra & Sari, 2020). Rasionalisasi tidak semata-mata berarti pengurangan tenaga kerja, tetapi penataan penempatan pegawai agar sesuai beban tugas dan produktif. Dengan demikian, anggaran belanja dapat diarahkan lebih optimal untuk belanja modal dan program prioritas yang berdampak langsung pada masyarakat.
Ketiga, Pemda Kuningan perlu membuka ruang dialog dan forum terbuka dengan para rekanan atau kontraktor yang selama ini dirugikan oleh kebijakan pembayaran tunda (Kusumawati, 2023). Penyusunan skema restrukturisasi pembayaran dengan jadwal yang jelas dan realistis akan memulihkan kepercayaan mitra kerja pemerintah sekaligus menjaga stabilitas ekonomi lokal.
Keempat, fungsi pengawasan dari DPRD, inspektorat daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus benar-benar dioptimalkan sebagai pengawas independen yang bekerja profesional (BPK RI, 2022). Publikasi laporan keuangan daerah secara periodik dan terbuka akan mendorong partisipasi masyarakat dalam mengawasi penggunaan anggaran.
Kelima, kualitas aparatur birokrasi daerah mutlak perlu diperkuat, tidak hanya pada aspek teknis administrasi, tetapi juga pada integritas moral dan etika pengelolaan keuangan publik (Denhardt & Denhardt, 2015). Pelatihan manajemen risiko fiskal, penerapan sistem peringatan dini untuk mendeteksi potensi defisit, dan penguatan budaya kerja yang akuntabel harus menjadi prioritas reformasi birokrasi. Dengan langkah-langkah konkret ini, diharapkan kegagalan fiskal tidak lagi menjadi agenda tahunan, tetapi berubah menjadi sejarah buruk yang tidak terulang.
Penutup: Harapan Baru di Tengah Ketidakpastian
Gagal bayar adalah cermin retaknya tata kelola fiskal, tetapi tidak boleh menjadi alasan untuk pesimisme kolektif. Masyarakat Kuningan, yang sejak lama menjunjung tinggi budaya silih asih, silih asah, silih asuh, pantas mendapat birokrasi yang berani berubah (Pemkab Kuningan, 2021).
Tugas pemimpin daerah bukan hanya meresmikan proyek, tetapi memastikan rakyat kecil tidak menjadi korban di balik panggung retorika (Wijaya, 2020). Dalam kata-kata Bung Hatta, “Keadilan sosial bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan” (Hatta, 1954).
Sudah waktunya Pemda Kuningan membuktikan janji reformasi birokrasi, bukan hanya slogan di baliho. Dengan tata kelola fiskal yang sehat, kepercayaan publik bisa pulih. Tanpa itu, Kuningan hanya akan menambah daftar daerah dengan gagal bayar sebagai warisan buruk.
Sejarah harus bergerak ke depan, bukan berputar di lingkaran kegagalan. Rakyat Kuningan berhak menagih janji itu. Dan sejarah akan mencatat siapa yang berani memperbaiki, siapa yang terus membiarkan luka gagal bayar membusuk di balik euforia seremoni pembangunan.
Daftar Pustaka
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2022). Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan Tahun Anggaran 2022. BPK RI.
Bappeda Kuningan. (2019). Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Kabupaten Kuningan 2018–2023. Pemerintah Kabupaten Kuningan.
Denhardt, R. B., & Denhardt, J. V. (2015). The new public service: Serving, not steering (4th ed.). Routledge.
Dwiyanto, A. (2018). Manajemen pelayanan publik: Peduli, inklusif, dan kolaboratif. Gadjah Mada University Press.
Hatta, M. (1954). Keadilan sosial. Pustaka Rakjat.
Iskandar, A. (2023, Mei 17). Wawancara pengusaha jasa konstruksi terdampak tunda bayar. Radar Kuningan. Retrieved from https://radarkuningan.co.id
Kusumawati, L. (2023). Krisis fiskal daerah: Kasus gagal bayar di Kabupaten Kuningan. Jurnal Administrasi Publik Indonesia, 9(1), 55–67.
Maulana, R. (2023). Panggung seremoni dan paradoks pembangunan daerah. Jurnal Politik Lokal, 5(2), 77–89.
Mardiasmo. (2018). Akuntansi sektor publik: Edisi revisi. Andi.
Nugraha, R. (2022). Analisis kegagalan fiskal pada pemerintah daerah. Jurnal Manajemen Keuangan Daerah, 10(1), 33–45.
Osborne, D., & Gaebler, T. (1993). Reinventing government: How the entrepreneurial spirit is transforming the public sector. Plume.
Pemkab Kuningan. (2021). Profil Kabupaten Kuningan: Visi, misi dan arah pembangunan. Pemerintah Kabupaten Kuningan.
Prabowo, D. (2022). Smart budgeting di era digital: Tinjauan kebijakan fiskal daerah. Jurnal Kebijakan Fiskal Indonesia, 7(2), 101–115.
Putra, H., & Sari, D. (2020). Optimalisasi belanja publik di Indonesia: Telaah pengendalian belanja pegawai daerah. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 18(3), 145–156.
Radar Kuningan. (2024, Maret 12). Kontraktor Kuningan jual aset pribadi demi gaji tukang. Radar Kuningan. Retrieved from https://radarkuningan.co.id
Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lembaran Negara Republik Indonesia.
Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.
Rohman, A. (2023). Realitas tenaga honorer dalam pusaran gagal bayar: Studi kasus Kuningan. Jurnal Kebijakan Publik dan Birokrasi, 5(1), 20–31.
Stiglitz, J. E. (2010). Freefall: America, free markets, and the sinking of the world economy. W.W. Norton & Company.
Transparansi Kuningan. (2024). Laporan hasil survei kepercayaan publik Kabupaten Kuningan. LSM Transparansi Kuningan.
Wijaya, M. (2020). Narasi pembangunan daerah: Antara idealisme dan populisme. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 15(1), 58–70.
Yuliani, E. (2021). Transformasi fiskal daerah melalui inovasi digital: Studi kasus Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 11(2), 88–102.
Ditulis oleh: Redaksi KuninganSatu.com