Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger TemplatesPremium By Raushan Design With Shroff Templates

Rasio LDR Tembus 123%, Uha: BPR Kuningan Kolaps!

Redaksi
Selasa, 01 Juli 2025
Last Updated 2025-07-01T02:38:44Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini

Kuningan, KuninganSatu.comGagalnya Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya dalam memenuhi kewajiban kepada para anggotanya masih menyisakan luka mendalam bagi masyarakat Kabupaten Kuningan. Ratusan warga yang menjadi korban kehilangan akses terhadap dana simpanan mereka. Selama bertahun-tahun, koperasi yang tampak sehat bugar dari luar itu berubah menjadi simbol runtuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan lokal.

Namun yang lebih mengkhawatirkan, pola keruntuhan yang sama kini mulai muncul dan terlihat di tubuh PERUMDA BPR Kuningan, lembaga keuangan milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Dalam tahun politik 2024, ketika perhatian publik tersita pada agenda Pilkada dan pengalihan fokus birokrasi, BPR Kuningan justru mengeluarkan sinyal darurat sistemik dalam dunia keuangan lokal.

Dalam Laporan Publikasi Keuangan per 31 Desember 2024, yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik DRA. Yati Ruhiyati, CA., CPA, tercatat Loan to Deposit Ratio (LDR) BPR Kuningan mencapai 123,01 persen angka yang jauh melampaui batas aman yang ditetapkan regulator dalam bisnis perbankan.

Secara teknis, LDR adalah rasio antara total kredit yang diberikan bank dengan dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun. Artinya, LDR mengukur seberapa besar dana masyarakat yang telah disalurkan kepada sektor pembiayaan. Dalam konteks manajemen perbankan, LDR adalah salah satu indikator paling penting untuk menilai kemampuan likuiditas suatu bank.

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 17/POJK.03/2013 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, rasio LDR ideal berada pada kisaran 75% hingga 90%. Angka di atas 90% mulai mengindikasikan bahwa bank telah menyalurkan sebagian besar dana ke dalam bentuk kredit, dan semakin mendekati atau melebihi 100% menunjukkan gejala overloaning yakni kondisi ketika bank meminjamkan lebih banyak uang daripada yang secara realistis bisa dicadangkan untuk penarikan tunai nasabah.

Bahkan dalam praktik kehati-hatian di industri perbankan, banyak bank menetapkan ambang batas LDR internal yang lebih konservatif pada level 85-90 persen. Hal ini untuk menjaga buffer likuiditas agar tetap tersedia jika terjadi fluktuasi penarikan dana oleh nasabah secara besar-besaran (rush money).

Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, menyebut bahwa rasio LDR BPR Kuningan yang mencapai 123,01 persen merupakan tanda bahaya keras bahwa bank ini secara teknis telah kehabisan ruang likuiditas.

“LDR di atas 100 persen artinya dana masyarakat sudah habis disalurkan ke sektor kredit. Tidak ada lagi yang disimpan dalam bentuk kas atau aset likuid. Simpanan masyarakat bisa dibilang dalam posisi tidak aman,” ujarnya kepada KuninganSatu.com, Senin (30/6/2025).

Data keuangan BPR Kuningan mencatat bahwa dari total DPK sebesar Rp143,5 miliar, hanya tersedia kas sekitar Rp 24 miliar. Uha memperingatkan bahwa bila terjadi penarikan dana sebesar 30% saja atau sekitar Rp 43 miliar, maka bank akan kewalahan membayar.

“Kalau ditarik 30 persen saja oleh nasabah, BPR Kuningan tidak akan sanggup atau gagal bayar. Ini skenario awal yang pernah terjadi di KSP Mekar Jaya dan kini muncul di lembaga keuangan milik pemerintah daerah,” tegasnya.


Lebih jauh, Uha menegaskan bahwa pengawasan oleh Kuasa Pemilik Modal (KPM) sangat lemah, padahal Bupati Kuningan saat ini, Dian Rachmat Yanuar, menjabat langsung sebagai KPM dari BPR Kuningan.

“Bagaimana mungkin rasio LDR bisa tembus hingga 123 persen tanpa ada intervensi atau koreksi dari pemegang KPM? Pak Dian itu bukan hanya Bupati, tapi juga penanggung jawab tertinggi dalam struktur kepemilikan BPR,” ujarnya.


Menurutnya kalau tidak ada konflik kepentingan, Bupati Dian seharusnya berani bertindak tegas dengan mencopot Dirut BPR Kuningan karena ini menyangkut dana masyarakat langsung, bukan hanya aset pemerintah atau PAD.

“Jangan sampai Pemkab Kuningan yang sedang menghadapi gagal bayar di level pemerintahan, lalu bank daerah milik pemda nya ikut gagal bayar juga karena likuiditasnya macet akibat mismanajemen. Ini akan menjadi bencana ganda,” katanya.


Selain krisis likuiditas, beban operasional BPR Kuningan juga dipersoalkan. Dalam laporan keuangan tahun 2024, tercatat biaya administrasi dan umum mencapai Rp 22 miliar, tanpa disertai rincian memadai.

“Ini angka fantastis. Tapi tidak ada penjelasan terperinci. Apakah untuk gaji, operasional kantor, fasilitas direksi, atau kegiatan promosi? Tidak ada yang tahu. Ini membuka ruang gelap penyalahgunaan keuangan,” ujar Uha.

Ia juga menyoroti beban bunga kontraktual yang setiap tahunnya hampir mencapai Rp 10 miliar.

“Beban bunga ini menunjukkan bahwa dana simpanan masyarakat dibayar dengan bunga yang tinggi, entah untuk siapa. Apakah deposito jumbo, atau simpanan biasa masyarakat? Tidak dijelaskan,” katanya.

Menurut Uha, pengeluaran besar tanpa transparansi ini sangat berbahaya, terutama jika dikombinasikan dengan laporan laba bersih sebesar Rp 2,66 miliar dan tersisa hanya tinggal Rp 617 juta saja yang tercatat untuk menambah ekuitas.

“Artinya sekitar Rp 2 miliar dari laba ‘hilang’ dari catatan modal. Tidak ada penjelasan soal dividen, insentif, atau transfer kepada pos lain. Ini menyesatkan publik dan menghina akal sehat kita semua,” tambahnya.

Yang lebih ironis, laporan keuangan dari BPR Kuningan tidak disertai laporan arus kas, padahal itu merupakan dokumen wajib berdasarkan PSAK 2. Tanpa arus kas, publik tidak tahu apakah laba benar-benar masuk kas, atau hanya pencatatan angka yang belum direalisasikan.

“Kalau uangnya tidak ada tapi di atas kertas bank untung, ini manipulasi keuangan gaya klasik. Dan kalau sampai terjadi rush money, semua topeng itu akan terjatuh hina,” katanya.

Uha pun menegaskan bahwa BPR Kuningan kini menghadapi tiga krisis struktural:

1. Krisis likuiditas akibat overloaning, dibuktikan oleh LDR 123,01%.

2. Kredit macet tersembunyi dari kalangan ASN yang gajinya tidak lagi otomatis dipotong.

3. Struktur modal yang rapuh, dan pengeluaran besar tanpa rincian yang transparan.


“BPR itu bukan bank biasa. Ini bank milik publik, menyimpan uang gaji ASN, pensiunan, pelaku UMKM, dan tabungan masyarakat kecil. Kalau gagal bayar, imbas sosialnya akan sangat luas,” tegasnya.

“Bupati sebagai KPM dan mewakili selaku pemilik saham 100 % pemerintah daerah harus turun tangan, jangan cuci tangan terus. Jangan sampai publik mencatat ada dua tragedi keuangan dalam satu dekade yakni pertama kado pahit opini WDP dari BPK untuk Pemkab Kuningan, lalu yang kedua bank daerahnya bangkrut. Ini waktunya bertindak, bukan pencitraan terus,” imbuhnya.

Di akhir pernyataan Uha juga sempat menyinggung pernyataan dari Direktur Bank Kuningan Dodo Warda ketika dikonfirmasi tentang masalah itu yang menyatakan bahwa ada hal yang tidak dimasukkan dalam laporan tersebut sehingga rasio LDR menjadi tinggi.

"Hasil Laporan Publikasi Keuangan Bank Kuningan Per 31 Desember 2024 itu sudah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik DRA. YATI RUHIYATI, CA., CPA dan tentunya pasti memakai biaya yang besar. Jadi kalau disebut laporan itu keliru, maka kredibilitas dari Kantor Akuntan Publiknya diragukan. Jangan-jangan cuma dicatut namanya saja. Kemudian masalah uang ada dan tidak ada itu akan terlihat ketika terjadi rush money seperti yang menimpa KSP Mekar Jaya," pungkas Uha.


(red)
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl