
KuninganSatu.com – Dugaan rangkap jabatan yang dilakukan oleh salah satu pejabat daerah di Kabupaten Kuningan kembali menuai sorotan. Kali ini, kritik keras datang dari Ketua Umum PC Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kuningan, Renis Amarulloh, yang menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk abuse of power dan pelanggaran hukum secara terang-benderang.
Renis menegaskan bahwa praktik rangkap jabatan, khususnya menjabat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sambil menduduki jabatan eksekutif daerah, adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip good governance dan keadilan publik.
"Ini bukan sekadar pelanggaran etik ini pelanggaran hukum yang nyata. Tidak bisa dibungkus dengan dalih administratif," ujarnya.
Ia merujuk Pasal 76 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014, yang menyatakan:
“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat lain pada lembaga pemerintah pusat dan daerah, serta jabatan lain yang dibiayai oleh APBN/APBD dan/atau menimbulkan konflik kepentingan.”
PPAT, lanjutnya, merupakan pejabat publik yang diangkat oleh negara melalui Kementerian ATR/BPN. Meski sifatnya fungsional, tugas PPAT menyangkut kewenangan hukum negara dalam pembuatan akta otentik. Maka, jika seorang pejabat daerah tetap menyandang status PPAT, itu berarti ia memegang dua kuasa publik yang berpotensi saling memengaruhi suatu bentuk konflik kepentingan yang tidak bisa ditoleransi.
“Undang-undang bukan dibuat untuk ditafsirkan sesuka hati. Pengunduran diri tanpa disertai surat pemberhentian resmi hanyalah manuver politik untuk membungkam kritik, bukan penyelesaian hukum,” tegas Renis.
Ia menambahkan bahwa Pasal 78 ayat (2) dari UU yang sama menyebut secara tegas sanksi administratif:
“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan apabila melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76.”
IMM Kuningan menilai, jika pemerintah daerah dan DPRD memilih diam, maka institusi penegak hukum wajib turun tangan.
“Kami tidak akan tinggal diam. Kami akan kawal proses ini sampai terang. Bila perlu, kami akan mendorong langkah hukum lanjutan agar publik tidak terus dibohongi,” tegasnya.
“Kalau surat pemberhentian dari Kementerian keluar belakangan setelah kasus ini disorot, maka bukti pelanggaran justru semakin kuat. Artinya, ada masa di mana pejabat tersebut secara sah menjalankan dua jabatan publik, itu pelanggaran, titik,” pungkas Renis.
(red)