
KuninganSatu.com,- Persoalan tunda bayar termin ketiga kepada 32 kelompok tani yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Kementerian Pertanian tahun 2024 memunculkan berbagai pertanyaan kritis dari masyarakat. Salah satunya datang dari Yusup Dandi Asih, aktivis dari Masyarakat Peduli Kuningan (MPK), yang secara terbuka mempertanyakan kejelasan penggunaan anggaran tersebut.
Yusup menyoroti bahwa dalam skema swakelola, proses pencairan dana tidak bisa dilakukan apabila Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) termin sebelumnya belum rampung. Namun, menurutnya, permasalahan utama bukan hanya soal LPJ, tetapi pada dugaan bahwa dana sudah ada di kas daerah namun tidak disalurkan sebagaimana mestinya.
“Kalau LPJ-nya memang belum, itu satu masalah. Tapi yang lebih penting, dananya sudah ada belum di kas daerah? Kalau sudah, lalu kenapa tidak disalurkan? Ini yang harus dijelaskan oleh pemerintah daerah,” ujarnya kepada kuningansatu.com, Rabu (30/4/2025).
Ia menjelaskan bahwa dana DAK dari Kementerian Pertanian biasanya ditransfer penuh ke kas daerah melalui mekanisme yang ketat. Pengelolaan selanjutnya berada di tangan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKAD). Dengan dasar itu, Yusup mempertanyakan, apakah dana tersebut memang ada namun digunakan untuk kebutuhan lain.
“Dana dari pusat itu sudah dialokasikan khusus untuk kegiatan pertanian. Kalau tidak disalurkan, pertanyaannya sederhana, dipakai untuk apa? Jangan-jangan dialihkan untuk keperluan yang bukan peruntukannya,” tegas Yusup.
Ia juga mempertanyakan kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum dalam pengelolaan anggaran tersebut. Menurutnya, bila benar ada pengalihan anggaran tanpa dasar hukum yang sah, maka itu sudah masuk dalam kategori penyimpangan yang patut ditelusuri lebih jauh.
Yusup mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) agar tidak pasif melihat persoalan ini. Ia menyebutkan bahwa pengawasan terhadap penggunaan anggaran publik bukan hanya tugas internal pemerintah, tetapi juga menjadi domain penegakan hukum apabila terjadi dugaan pelanggaran.
“APH jangan diam saja. Kalau masyarakat sudah mengeluh dan ada indikasi yang mencurigakan, semestinya segera ada langkah konkret, bukan menunggu sampai ada kerugian yang besar,” katanya.
Dengan gaya satir, Yusup menggambarkan persoalan ini melalui analogi sederhana: “Ini ibarat kita punya 100 rupiah untuk beli cendol karena haus, tapi malah dibelikan serabi. Yang terjadi, haus kita tidak hilang dan tukang cendol pun kecewa. Sama halnya dengan kelompok tani yang akhirnya tidak bisa melanjutkan kegiatan karena dananya tidak turun,” sindirnya.
(red)