
KuninganSatu.com,- Polemik pengadaan karpet senilai Rp99.511.500 oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan terus menuai gelombang kritik. Di tengah kondisi keuangan daerah yang dinilai rapuh, pengeluaran fantastis untuk dua unit karpet berukuran jumbo ini memicu pertanyaan besar: Ke mana arah prioritas belanja pemerintah?
Pemerhati kebijakan daerah, Iwan Iba, mengaku sangat prihatin. Ia menilai pengadaan ini sebagai simbol dari kebijakan anggaran yang tumpul ke bawah dan tumpul ke rasa. Menurutnya, belanja mewah semacam ini menampar rasa keadilan publik, terutama saat rakyat tengah bergelut dengan persoalan kebutuhan dasar.
“Kuningan ini sedang tidak baik-baik saja. Masalah air bersih, infrastruktur yang rusak, TPP ASN yang belum tuntas, bahkan warisan tunda bayar dari tahun-tahun sebelumnya belum selesai. Dalam kondisi ini, belanja karpet mewah untuk rumah dinas jelas bukan prioritas. Ini menyakitkan,” ujarnya kepada KuninganSatu, Jumat (9/5/2025).
Sebagai pelaku usaha yang kerap menjadi rekanan proyek pemerintah, Iwan juga menyayangkan sikap Pemkab yang dinilainya tidak memiliki sense of crisis. Ia menyebut banyak rekanan yang kini terjebak kesulitan keuangan akibat tunda bayar kegiatan tahun lalu, bahkan sebagian di antaranya harus menggunakan dana pinjaman berbunga demi menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
“Kami para rekanan sedang terseok-seok. Banyak yang belum dibayar penuh, sementara kewajiban ke bank terus berjalan. Belanja seperti ini untuk karpet mahal benar-benar menyayat. Seolah tak ada empati pada kami yang ikut menopang jalannya program pembangunan,” ungkapnya.
Iwan menambahkan, pengadaan karpet di tengah krisis justru menunjukkan wajah asli dari mentalitas pengelola anggaran yang dinilai hanya mementingkan estetika kekuasaan ketimbang realitas rakyat.
“Jangan-jangan, di mata mereka, rekanan itu cuma sapi perah. Disuruh kerja dulu, dibayar entah kapan. Tapi kalau soal kenyamanan sendiri, bisa langsung cair puluhan juta rupiah. Ini bukan hanya tidak adil, tapi juga sangat mengecewakan,” kecam iwan tajam.
Ia juga menyebut bahwa beban psikologis dan finansial yang ditanggung rekanan sangat berat, terlebih banyak dari mereka yang kini nyaris gulung tikar karena pemerintah tak kunjung melunasi kewajiban.
“Kita disuruh jaga mutu, kejar waktu, patuh pada regulasi. Tapi pemerintah sendiri tidak disiplin membayar. Ini sudah masuk wanprestasi pemerintah, dan sepatutnya pemerintah ganti rugi kepada rekanan. Lalu sekarang mereka beli karpet mewah? Di mana hati nurani mereka?” tegasnya.
Iwan menyebut bahwa sejak beberapa tahun terakhir, beban keuangan daerah cukup berat. Efisiensi anggaran terus digaungkan, tapi implementasinya kerap tak konsisten. Salah satunya tercermin dalam kebijakan seperti pengadaan barang mewah ini.
“Belanja simbolik seperti ini hanya menunjukkan bahwa orientasi kebijakan masih elitis. Padahal publik berharap setiap rupiah dari APBD menyasar kebutuhan rakyat, bukan kenyamanan pejabat,” kata Iwan.
Menurut Iwan, karpet ini bukan soal ukuran atau harga semata. Ini adalah soal etika fiskal dan kepekaan pemimpin terhadap rasa keadilan sosial. Ia mengingatkan, dalam UU Keuangan Negara dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, setiap pengadaan harus memenuhi unsur efisiensi, efektivitas, dan kepatutan.
“Coba ditakar, apakah pembelian karpet seharga hampir seratus juta itu efisien? Efektif? Patut? Saya kira publik bisa menilai,” tegasnya.
Iwan juga mendorong baik DPRD, Inspektorat daerah, dan APH untuk tidak diam. Ia menyebut perlu ada audit investigatif atas pengadaan tersebut, termasuk menelusuri apakah prosesnya sesuai aturan, tidak ada markup, dan transparan.
“Kalau ini dibiarkan, akan jadi preseden buruk. Bukan tak mungkin ada pengadaan-pengadaan lain yang serupa tapi luput dari sorotan,” katanya.
Dikatakan Iwan, berbagai komentar warga menyebut karpet tersebut sebagai “karpet emas” dan “karpet Aladdin.” Sebuah simbol satir dari ketimpangan antara kebutuhan rakyat dan gaya hidup elite birokrasi.
“Yang dibutuhkan rakyat bukan karpet empuk, tapi kebijakan yang merata,” katanya Iwan.
Kritik ini semakin menguatkan desakan publik agar Pemkab Kuningan membuka seluruh dokumen pengadaan kepada masyarakat. Bukan sekadar klarifikasi, tapi juga evaluasi menyeluruh terhadap orientasi belanja daerah.
“Transparansi bukan pilihan. Itu kewajiban,” tutup Iwan.
Sementara itu Kepala Bagian Umum Setda Kabupaten Kuningan Eva Nurafifah Latief, S.E., M.Si ketika dikonfirmasi wartawan enggan berkomentar lebih jauh karena dalam hal ini ia mengaku hanya menjalankan tugas.
"Hehehe... No comment, hanya melaksanakan tugas memproses tagihan," jawabnya singkat.
(red)