masukkan script iklan disini
Temuan Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 mengungkap fakta memprihatinkan tentang persepsi guru di Kabupaten Kuningan terhadap praktik gratifikasi. Berdasarkan laporan resmi, sebanyak 78,38% satuan pendidikan (satdik) di daerah ini menyatakan bahwa gratifikasi merupakan hal yang wajar.
Persentase ini jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 67,76%, sekaligus menegaskan bahwa praktik pemberian bingkisan atau hadiah kepada guru telah melembaga dalam sistem pendidikan lokal.
Tak hanya itu, 91,89% satdik dilaporkan memiliki kebiasaan orang tua siswa memberikan bingkisan kepada guru saat momen hari raya atau kenaikan kelas. Bahkan 43,24% satdik mengakui adanya kejadian guru menerima bingkisan dengan harapan siswa mendapat perhatian lebih. Ini bukan sekadar bentuk penghormatan, melainkan gejala meluasnya praktik transaksional dalam hubungan pendidik dan peserta didik.
Normalisasi Gratifikasi, Gagalnya Pendidikan Karakter
Secara normatif, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan pentingnya pengembangan karakter, moral, dan integritas dalam proses pembelajaran. Namun dalam praktiknya, angka-angka dalam SPI mengindikasikan sebaliknya yakni praktik gratifikasi telah dinormalisasi bahkan dibungkus sebagai bentuk “kepedulian” atau “budaya terima kasih”.
Ini adalah penyimpangan serius. Ketika integritas seorang guru dikaburkan oleh bingkisan dan hadiah, maka objektivitas, keadilan, dan nilai luhur profesi pendidikan akan terkikis. Jika ini terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan gratifikasi akan dianggap sebagai “hak informal” yang dibenarkan oleh kebiasaan.
Dedi Mulyadi: Kembalikan Spirit Pendidikan
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dalam berbagai pernyataannya, menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh menjadi ruang komersial dan transaksional. Ia menolak keras segala bentuk penyimpangan dalam dunia pendidikan, termasuk materialisme dan gratifikasi.
“Pendidikan kita hari ini terlalu materialistis. Guru-guru dan kepala sekolah lebih sibuk mengejar proyek dan angka, tapi lupa soal nilai moral dan spiritualitas,” tegas Dedi dalam satu pernyataan publik pada 2024.
Ia juga pernah menyerukan pentingnya membangun kembali kesadaran spiritual dalam pendidikan, menyebut bahwa kejujuran dan kesederhanaan harus menjadi inti pembelajaran, bukan sekadar pencapaian administratif.
Sikap Gubernur ini sejalan dengan semangat anti-korupsi yang dicanangkan pemerintah pusat. Gratifikasi, dalam bentuk apa pun, jika berpotensi memengaruhi penilaian atau pelayanan, wajib ditolak dan dilaporkan.
Tanggung Jawab Bersama
Meningkatnya persepsi wajar terhadap gratifikasi harus dijawab dengan intervensi sistemik. Pemerintah daerah, dinas pendidikan, kepala sekolah, komite pendidikan, hingga orang tua murid harus terlibat aktif dalam membangun ekosistem pendidikan yang bersih dan bermartabat. Sosialisasi aturan gratifikasi, pendidikan antikorupsi sejak dini, serta pelaporan terbuka menjadi langkah minimal yang harus segera ditempuh.
SPI Pendidikan seharusnya menjadi cermin evaluasi, bukan hanya sekadar laporan statistik tahunan. Ketika hampir 4 dari 5 satuan pendidikan di Kuningan melihat gratifikasi sebagai hal biasa, maka ada yang salah dalam sistem nilai kita. Dan bila pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembentukan karakter justru gagal menjaga integritasnya, maka masa depan bangsa hanya tinggal deretan angka tanpa makna.
Catatan Redaksi:
Data bersumber dari Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan Tahun 2024 yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Kemendikbud.
Sikap Gubernur Dedi Mulyadi dikutip dari berbagai pernyataan resminya sepanjang tahun 2023-2024.