Kasus Korupsi PJU Kuningan Caang 117 Miliar, Uha: Kajari Ditunggu Pengumuman Tersangka
KuninganSatu.com - Kala malam turun dan lampu-lampu jalan menyala, warga Kuningan mungkin melihat itu sebagai cahaya pembangunan. Tapi bagi sebagian lain, terutama mereka yang mengikuti jalannya proyek Penerangan Jalan Umum (PJU) Kuningan Caang yang dibiayai melalui Bantuan Keuangan Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2023 senilai Rp 117 miliar, dan ditargetkan memasang sekitar 7.000 titik lampu PJU di 376 desa namun semua itu tak lebih dari simbol kebusukan yang disorot terang. Sebuah proyek besar, yang dari luar tampak berfaedah, namun di dalamnya mengendap dugaan kuat praktik korupsi sistemik.
Dan di tengah ketidakjelasan penanganan hukum proyek itu, suara keras datang dari Uha Juhana, Ketua LSM Frontal. Ia berdiri sebagai pengkritik paling vokal, menyebut proyek Kuningan Caang sebagai contoh "rekayasa terang" yang sejatinya menyembunyikan lorong gelap kekuasaan dan konspirasi birokrasi.
“Ini bukan sekadar proyek gagal. Ini proyek yang sejak awal diskenario untuk gagal, tapi menguntungkan pihak tertentu. Kita bicara soal rekayasa kebijakan, permainan jabatan, dan kematian akal sehat hukum,” ujar Uha kepada Kasatu.id, Kamis (25/7/2025).
Modus Lama, Gaya Baru
Proyek ini dicanangkan sebagai program strategis daerah dengan dalih pemerataan infrastruktur penerangan. Namun di balik niat baik itu, menurut penelusuran Frontal dan investigasi media, proyek ini penuh kejanggalan. Dari proses penganggaran yang melesat naik tanpa argumentasi teknis, hingga penunjukan PPK yang tak memiliki sertifikasi, bahkan diduga tidak memahami detail kontrak yang ditandatanganinya.
Temuan lapangan juga menunjukkan bahwa konsultan yang terlibat hanyalah pelengkap. Bahkan diduga kuat terjadi praktek "pinjam bendera", sebuah metode manipulatif yang juga terjadi di kasus PJU Cianjur, yang kini sudah menetapkan dua tersangka yakni seorang PPK aktif yang menjabat Kepala Dinas dan konsultan perencana.
“Apa bedanya dengan Kuningan? PPK tidak kompeten, konsultan tidak kredibel, perusahaan pelaksana patut diduga hanya boneka. Tapi mengapa Cianjur sudah menetapkan tersangka, Kuningan justru diam seribu bahasa?” tanya Uha dengan nada tinggi.
Kejaksaan Kuningan: Tersandera atau Takut?
Kejaksaan Negeri Kuningan memang telah memeriksa sejumlah 32 saksi, termasuk pihak dari Dinas Perhubungan dan rekanan proyek. Namun hingga berita ini diturunkan, belum satu pun yang ditetapkan sebagai tersangka. Proses hukum seperti jalan di tempat.
Dalam investigasi internal Frontal, bahkan diduga terjadi penolakan diam-diam terhadap pendampingan hukum oleh jaksa pengacara negara saat proses tender dan pelaksanaan proyek berlangsung.
“Itu artinya ada yang ingin proyek ini tidak diawasi sejak awal. Dan sekarang, ketika bau busuknya menyebar, para pelindung proyek saling menjaga. Pertanyaannya saat ini, apakah Kejari ikut menjaga itu juga?” sergah Uha.
Situasi ini sangat kontras jika dibandingkan dengan langkah progresif Kejari Cianjur. Dalam waktu dua bulan, mereka berhasil merampungkan penyidikan, menetapkan dua tersangka, menaksir kerugian negara hingga Rp 8,49 miliar, dan langsung melakukan penahanan. Cianjur membuktikan bahwa penegakan hukum bisa berjalan jika aparatnya punya integritas dan keberanian.
“Jaksa di sana bertaji, bukan bertopi. Mereka bekerja, bukan berdalih. Sementara Kuningan? Diduga tak lebih dari etalase hukum kosong,” kritiknya tajam.
Suara Publik Menguat, Pansus Melempem
Di sisi lain, desakan agar kasus ini dibuka secara terang benderang terus bergulir. Tidak hanya datang dari Frontal. Aktivis lintas organisasi, pengamat anggaran daerah, mahasiswa dari sejumlah kampus di Kuningan, hingga media massa lokal terus menyuarakan tekanan. Diskusi publik digelar, aksi simbolik dilakukan, opini di media sosial meluas.
“Mahasiswa sudah turun menyuarakan kebenaran. Wartawan menggali fakta di lapangan. Pengamat menulis di kolom opini. Semua bilang hal yang sama: keadilan untuk rakyat, bukan perlindungan untuk koruptor,” ungkap Uha.
Sayangnya, DPRD Kuningan justru kehilangan taji. Pansus yang dibentuk hanya menjadi kosmetik politik tanpa hasil berarti. Setelah memanggil beberapa dinas dan rekanan, tidak ada rekomendasi hukum yang kuat, bahkan tak ada tekanan moral terhadap Kejaksaan. Pansus dinilai gagal menjadi perpanjangan lidah rakyat.
“Pansus PJU Kuningan Caang yang dulu dibentuk oleh DPRD ternyata hanya formalitas saja, mereka bermain sinetron dalam forum-forum rapat, padahal sampai Rp 300 juta anggaran dihabiskan untuk membiayainya. Jangan mempermalukan rakyat dengan pura-pura peduli,” tegasnya.
Harapan Terakhir pada Kajari Baru
Kini, sorotan terakhir jatuh pada Kajari Kuningan yang baru, Ikhwanul Ridwan, S.H.. Uha menyebut, ini adalah ucapan selamat datang baginya sekaligus momentum emas yang akan menentukan apakah Kajari Kuningan yang baru ini bisa memutus lingkaran gelap dan berdiri sebagai penjaga keadilan, atau justru menjadi simbol ketidakberdayaan hukum daerah.
“Pak Kajari, ini soal sejarah. Jika Anda punya keberanian, ambil langkah hukum. Jika tidak, mundur lebih terhormat daripada melindungi ketakutan. Rakyat tidak butuh jaksa yang bicara prosedur. Rakyat butuh jaksa yang bertindak,” seru Uha.
Ia mendesak agar Kejari segera menetapkan tersangka, menahan pelaku utama, dan membuka proses penyidikan secara transparan. Karena jika tidak, kata Uha, ini akan menjadi preseden buruk yang membunuh optimisme hukum di daerah.
“Kalau sekarang pun tidak ada tindakan, rakyat akan hilang harapan. Dan kalau rakyat sudah tak percaya pada hukum, maka tinggal menunggu waktu hingga keadilan dicari di luar jalur negara,” katanya.
Dari Terang Menuju Gelap
Uha menutup pernyataannya dengan pesan bernada simbolik namun sarat makna. Ia mengingatkan bahwa nama proyek ini Kuningan Caang yang memiliki nilai filosofis menerangi yang gelap, memberi arah di malam. Tapi bila kebenaran dan keadilan justru dimatikan, maka nama proyek itu akan jadi ironi.
“Jangan sampai Kuningan Caang (Terang) berubah jadi Kuningan Poek (Gelap). Jangan sampai cahaya yang diklaim membangun, ternyata menyinari jalan bagi para perampok uang rakyat. Hukum harus menyala, atau kita semua akan tersesat di gelap yang diciptakan negara sendiri,” tutup Uha.
(roy)