Omzet Puluhan Juta Tapi Selalu Was-was, Pengusaha RT RW Net Kuningan Ungkap Realita Pahit
![]() |
Foto: Server RT RW Net (dok. google.com) |
KuninganSatu.com - Usaha jaringan internet rumahan (RT/RW Net) menjamur di Kabupaten Kuningan. Di tengah tingginya kebutuhan akses digital, para pelaku usaha ini menjadi penyambung hidup bagi warga desa yang belum terjangkau layanan provider besar. Namun ironisnya, meski beromzet puluhan juta rupiah dan melayani ratusan rumah tangga, para pelaku RT/RW Net tetap berjalan dalam bayang-bayang kekhawatiran hukum.
RN (36), pengusaha RT/RW Net asal Kecamatan Kuningan, adalah satu dari sekian pelaku usaha yang buka suara. Kepada KuninganSatu.com, Minggu (3/8/2025), ia membagikan kegelisahannya meskipun secara bisnis tengah tumbuh. “Omzet lumayan, pelanggan sudah 400 rumah lebih. Tapi jujur, tiap malam tidur saya tetap nggak tenang. Karena kami ini nggak sepenuhnya legal,” ujarnya.
Jaringan Jalan, Tapi Payung Hukumnya Gelap
Usaha RN bermula dari membantu keluarga menyambungkan internet. Kini bisnisnya berkembang, tapi soal legalitas, ia merasa berjalan di atas tali rapuh.
"Saya punya NIB, itu pun hanya untuk keperluan formal. Tapi izin penyelenggara ISP, izin penggunaan spektrum, bahkan alat yang dipakai, semuanya belum semuanya punya sertifikasi POSTEL. Ini bukan karena malas, tapi memang tidak mudah dan tidak murah," ujarnya.
Menurutnya, biaya mengurus legalitas resmi bisa menembus puluhan juta rupiah. Di sisi lain, format regulasi yang ada hari ini belum mengakomodasi skala mikro seperti yang ia jalankan.
“Kami ini bukan perusahaan besar. Kami hanya isi celah yang belum dijangkau. Tapi tetap saja, bisa dianggap melanggar,” tambah RN.
Saat mendengar informasi tentang patroli dari Balmon, sidak dari Kominfo, atau kabar razia dari aparat, RN langsung cemas.
“Rasa-rasanya kayak dikejar karena usaha ini dianggap ilegal. Padahal kami bantu warga. Kalau pemerintah mau lindungi, kami siap diatur,” tegasnya.
Tiang PLN, Risiko Pribadi, dan Nyawa di Ujung Tangga
Satu isu besar yang menghantui para pelaku RT/RW Net adalah penggunaan tiang PLN untuk menarik kabel ke rumah pelanggan.
“Kalau bikin tiang sendiri biayanya mahal banget, bisa belasan juta. Belum tentu juga warga izinkan tiang ditanam di depan rumahnya,” ujarnya.
Namun karena pemanfaatan tiang PLN dilakukan tanpa izin resmi, risiko pun datang. Beberapa kali saat PLN melakukan pemeliharaan, kabel milik RN diputus begitu saja.
“Kami nggak bisa protes, karena tahu diri juga. Jadi ya sabar nunggu mereka selesai, lalu disambung lagi pelan-pelan,” katanya.
Yang paling mengkhawatirkan adalah risiko keselamatan. Seluruh pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan kabel dilakukan RN sendiri.
“Saya bawa tangga sendiri, naik ke tiang sendiri, nggak jarang malam-malam atau saat hujan. Semua demi jaga koneksi warga tetap hidup. Tapi satu kesalahan, nyawa bisa hilang,” ungkapnya.
Kami Mau Diatur, Asal Dibukakan Jalannya
RN dan pelaku RT/RW Net lain sebenarnya tidak menolak legalitas. Mereka justru mendambakan adanya regulasi khusus atau skema perizinan mikro yang berpihak pada pelaku kecil menengah khususnya dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan.
“Kalau memang ada jalurnya, kami akan tempuh. Kalau perlu bayar retribusi untuk kas daerah pun kami siap,” ujarnya.
Ia berharap ada skema pembinaan dari pemerintah daerah, Diskominfo, atau bahkan dukungan dari PLN, agar usaha sejenis bisa difasilitasi secara bertahap.
“Misalnya disediakan jalur retribusi tiang, atau pelatihan untuk sertifikasi alat dan jaringan. Bukan langsung dianggap pelanggar,” tambahnya.
Selama ini, menurut RN, pelaku RT/RW Net seperti dirinya hanya ingin diakui keberadaannya dan diberi ruang untuk berkontribusi.
“Kami ini bukan penumpang gelap. Kami warga negara juga. Kalau pemerintah mau lindungi dengan payung hukum, kami pasti taat aturan,” tegasnya.
Siap Berkontribusi Asal Diberi Kepastian
Di tengah geliat digitalisasi, RN melihat peluang besar bagi pemerintah untuk menggandeng pelaku lokal demi pemerataan akses internet.
“Kami bisa jadi mitra strategis. Tinggal bagaimana regulasinya disesuaikan dengan kemampuan kami, bukan disamakan dengan provider besar,” ujarnya.
Selama ini, RN sudah menciptakan lapangan kerja, membayar pajak dari pendapatan pribadi, dan membantu konektivitas warga.
“Kalau semua diminta formal sekarang, kami tumbang. Tapi kalau ada pembinaan dan legalisasi bertahap, kami akan tumbuh dan memberi lebih banyak untuk daerah,” tambahnya.
Ia juga berharap keberadaan mereka tak lagi dianggap "liar", melainkan bagian dari solusi digitalisasi desa.
“Kami bukan pesaing provider besar, tapi pelengkap. Kalau infrastruktur utama belum masuk, kami isi dulu. Kalau nanti masuk, kami siap kerja sama,” katanya.
Bukan Kriminal, Tapi Pejuang Sinyal
RN menutup wawancara dengan harapan besar agar para pengambil kebijakan melihat pelaku RT/RW Net dengan kacamata yang adil.
“Kami bukan kriminal. Kami hanya ingin hidup dari jalan yang kami bisa, sambil bantu orang lain. Tapi kalau terus diburu dan tak diberi jalan, kami bisa apa?” ujarnya pelan.
Ia meyakini, jika pemerintah memberi payung hukum dan ruang legal, maka pelaku seperti dirinya akan patuh dan bahkan bersedia berkontribusi secara resmi kepada daerah.
“Kami mau menyumbang PAD, kami mau diatur. Tapi jangan disamakan dengan korporasi. Kami pelaku lokal yang lahir dari kebutuhan warga,” tegas RN.
.roy