Kuningan, Ke Mana Perginya ASRI yang Dulu?
Di atas tanah yang subur, di bawah langit yang bersih, di lembah dan kaki gunung yang memeluk kehidupan, Kuningan lahir dan tumbuh sebagai daerah yang ASRI. Kata itu, singkat tapi sakral. Aman, Sehat, Rindang, Indah.
Bukan hanya semboyan, bukan hanya slogan. Tapi ruh. Ruh dari tanah, dari alam, dari masyarakat. Ruh dari sejarah panjang yang tidak dibangun dalam satu periode, tetapi oleh lintasan waktu, oleh kearifan, oleh nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Namun kini, mari kita jujur pada nurani:
Masihkah ASRI itu hidup? Masihkah ia terasa dalam nadi daerah ini? Ataukah telah kita kubur bersama ambisi dan kebisingan pembangunan yang kehilangan arah?
ASRI Bukan Sekadar Akronim, Ia Jiwa yang Pernah Menyatu
ASRI adalah filosofi hidup. Ia hidup dalam cara masyarakat menyapa sesama. Ia nyata dalam cara desa menjaga sawah, dalam cara kota mengatur ruang, dalam cara pemimpin mendengar suara rakyat.
AMAN tidak hanya berarti tidak ada kejahatan. Tapi hadirnya rasa tenteram yang tumbuh dari keadilan, dari kepemimpinan yang mengayomi, bukan menguasai. Hari ini, keamanan berubah jadi ketertundukan. Ketika suara rakyat dibungkam oleh prosedur dan kritik dianggap ancaman, maka rasa aman pun sirna.
SEHAT bukan hanya urusan rumah sakit atau program kesehatan. Tapi udara yang bisa dihirup dengan lega, air yang bisa diminum tanpa ragu, lingkungan yang bersih tanpa harus disemir oleh kamera media. Tapi kita tahu, udara mulai pengap oleh polusi, sungai-sungai mulai berwarna keruh, dan masyarakat mulai terbiasa hidup dalam ketidakbersihan yang disembunyikan.
RINDANG adalah kehadiran alam yang melindungi, bukan sekadar menghijaukan. Rindang adalah rasa teduh dalam hidup bersama. Dulu kita berjalan di bawah pepohonan dan merasakan dunia memeluk kita. Kini, kita berjalan di antara bangunan tinggi, panas menyengat kulit, dan suara burung digantikan oleh deru mesin.
INDAH adalah harmoni. Ia bukan soal estetika permukaan, tetapi keseimbangan yang memanjakan jiwa. Dulu keindahan itu hadir tanpa direkayasa, di sawah, di kebun, di wajah petani. Sekarang keindahan itu dibuat-buat daei taman warna-warni, tugu megah, tapi kosong makna. Kita sedang kehilangan keindahan yang alami, digantikan oleh kosmetika tata ruang yang dingin.
Sasanti yang Mulia: Rapih Winangun Kerta Raharja
Kuningan bukan hanya punya ASRI. Ia juga memiliki Sasanti Daerah:
“Rapih Winangun Kerta Raharja”
Yang artinya, pemerintah bersama masyarakat membangun dengan tertib dan teratur, dengan semangat, demi kemakmuran dan kesejahteraan lahir dan batin.
Kata-kata ini sakral. Ia seharusnya menjadi arah. Tapi sayang, hari ini ia tinggal dalam prasasti, dilafalkan saat seremonial, tapi dilupakan dalam pengambilan kebijakan.
Keteraturan telah digantikan oleh kekacauan birokrasi. Semangat membangun bergeser menjadi ambisi personal. Kesejahteraan? Ia hanya menyapa kalangan tertentu, tak merata, tak menyentuh yang lemah.
Yang batin dan yang tak kasat mata, tapi paling menentukan seringkali diabaikan. Pemerintahan kehilangan roh ketika sasanti tinggal narasi. Masyarakat kehilangan harapan ketika arah pembangunan tak lagi berpijak pada nilai.
Kuningan yang Rindu Pulang
Seperti manusia yang terasing dari rumah masa kecilnya, Kuningan kini tampak kehilangan dirinya sendiri. Kita terus membangun, tapi tak tahu lagi untuk siapa, dan untuk apa. Kita bicara tentang kemajuan, tapi tak lagi paham apa yang sedang kita tinggalkan.
Dan itulah ironi terbesar Kuningan yang maju secara fisik, tapi mundur secara jiwa.
ASRI bukan nostalgia. Ia adalah masa depan. Tapi masa depan yang hanya bisa diraih jika kita berani kembali pulang ke nilai-nilai itu.
Jika Bukan Kita yang Membela Ruh Ini, Lalu Siapa?
ASRI telah ditinggalkan oleh banyak pemimpin. Ia dibungkam oleh kesibukan anggaran, disingkirkan oleh tekanan politik, dan ditelan oleh ego proyek-proyek pencitraan. Tapi ia belum mati. Ia menunggu. Ia masih hidup di hati masyarakat yang jujur. Ia masih bernafas dalam udara pedesaan, dalam sawah yang tersisa, dalam anak-anak yang belum tercemar apatisme.
Yang dibutuhkan hanyalah:
Keberanian untuk berkata cukup.
Kejujuran untuk mengakui bahwa kita telah melupakan.
Dan keteguhan untuk mengembalikan arah.
ASRI bukan sesuatu yang bisa dibeli. Ia harus dibangun ulang dengan cinta, dengan hati, dengan keberpihakan.
Jangan Tunggu Sampai Kuningan Menjadi Asing di Mata Anaknya Sendiri
Jangan biarkan Kuningan menjadi tempat yang tak dikenali oleh generasi penerus.
Jangan biarkan anak-anak kita tumbuh di kota yang penuh lampu tapi tanpa cahaya nilai.
Jangan biarkan “Kuningan ASRI” menjadi legenda kosong dalam buku pelajaran.
Pembangunan fisik bisa direncanakan dalam RPJMD. Tapi pembangunan jiwa?
Itu harus datang dari kesadaran bahwa ASRI dan Rapih Winangun Kerta Raharja bukan warisan untuk dikenang, tapi landasan untuk ditumbuhkan.
Maka hari ini, kita hanya ingin berkata:
Wahai para pemimpin, dengarlah suara yang tak lagi terdengar.
Wahai masyarakat, sadarlah sebelum semuanya benar-benar hilang.
Wahai Kuningan... pulanglah pada dirimu sendiri. Pulanglah pada ASRI.
Karena ketika ASRI benar-benar mati, maka Kuningan tinggal nama tanpa jiwa, tanpa arah, tanpa cinta.
Ini bukan suara kecaman, bukan juga suara kebencian, tapi ini adalah sebuah suara kerinduan.
Ditulis oleh: Mang Kaeling
Yang Datang Serba Hitam