Undang-Undang Perlindungan Anak Tidak Pernah Mengenal Suka Sama Suka!
![]() |
Foto: Ilustrasi |
KuninganSatu.com - Seorang guru agama yang seharusnya menjadi pilar akhlak dan moral, justru mencoreng martabat profesinya dengan diduga melakukan tindakan asusila terhadap siswi di bawah umur. Ia berdalih bahwa hubungan itu terjadi karena suka sama suka. Dalih tersebut seolah ingin mengaburkan batas antara hubungan dewasa dan kekerasan seksual terhadap anak. Ironisnya, sebagian masyarakat pun terjebak dalam logika keliru tersebut, dengan menganggapnya sebagai “urusan pribadi”.
Namun, publik perlu menyadari bahwa tidak ada ruang pembenaran bagi relasi seksual antara orang dewasa dan anak, apalagi ketika pelaku adalah figur otoritatif seperti guru agama. Alih-alih sebagai cinta, relasi seperti itu merupakan bentuk manipulasi kuasa. Bahkan ketika korban terlihat tidak melawan, hukum tidak menganggapnya sebagai konsensual. Sebab, hukum memahami bahwa anak belum memiliki kapasitas hukum untuk menyetujui relasi seksual.
Relasi antara guru dan murid, apalagi dalam konteks agama, membawa beban tanggung jawab moral yang sangat tinggi. Seorang guru agama tidak hanya menyampaikan pelajaran, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keteladanan. Ketika nilai itu disalahgunakan untuk membungkus perbuatan bejat, maka sesungguhnya itu adalah pengkhianatan yang tak terampuni terhadap fungsi pendidikan.
Masyarakat harus berhenti menormalisasi tindakan kekerasan seksual yang dibalut dalam narasi hubungan suka sama suka. Terlebih lagi, ketika korban masih tergolong anak di bawah umur menurut undang-undang. Tidak ada logika budaya, agama, ataupun moral yang bisa membenarkan hal ini. Justru ketika masyarakat memilih bungkam, kita sedang menciptakan ruang aman bagi predator berkedok guru.
Karena itu, tulisan ini bertujuan mengurai dan menegaskan kembali bahwa dalih suka sama suka tidak memiliki dasar moral maupun hukum. Pelaku harus diproses sesuai ketentuan pidana yang berlaku. Dan negara, dalam hal ini aparat penegak hukum, tidak boleh goyah oleh tekanan sosial atau jabatan pelaku. Hukum harus berdiri tegak melindungi korban.
Undang-Undang: Anak Tidak Bisa Memberi Persetujuan Seksual
Secara hukum, dalih suka sama suka tidak berlaku ketika korban adalah anak di bawah umur apalagi jika sampai terjadi persetubuhan. Hal ini diatur tegas dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 jo. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan terhadap anak dapat dikenai pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, ditambah denda paling banyak Rp5 miliar. Bahkan, sanksinya diperberat bila pelaku adalah orang yang memiliki kuasa atau kepercayaan terhadap anak, termasuk guru.
Pasal tersebut dengan tegas menyatakan bahwa keberadaan "persetujuan" dari anak tidak membatalkan unsur pidana. Dalam sistem hukum pidana Indonesia, anak di bawah umur tidak memiliki kapasitas hukum untuk memberikan persetujuan terhadap hubungan seksual. Persetujuan baru memiliki kekuatan hukum bila diberikan oleh orang dewasa yang sadar konsekuensi hukum dan sosialnya.
Di luar pidana penjara, terdapat juga konsekuensi administratif dan etik. Seorang guru yang terbukti melanggar norma hukum pidana akan terkena sanksi dari institusi pendidikan, mulai dari pemecatan hingga pencabutan hak mengajar secara permanen. Ini penting, agar dunia pendidikan bebas dari ancaman predator seksual berbaju guru.
Undang-undang tersebut tidak hadir dalam ruang kosong. Ia lahir dari realitas pahit banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, di mana pelaku seringkali bersembunyi di balik relasi akrab atau persetujuan semu. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak harus absolut, bukan bersyarat. Karenanya, ketegasan hukum ini bersifat melindungi korban dari jebakan relasi timpang.
Jadi, setiap upaya untuk menjadikan cinta sebagai tameng harus dilawan dengan hukum yang tegas dan kesadaran publik yang tinggi. Bila kita longgarkan celahnya, maka kita membuka ruang gelap bagi pelaku lainnya untuk mengulangi kejahatan serupa. Dan itu artinya, kita gagal melindungi generasi masa depan.
Relasi Kuasa dan Kekerasan Terselubung
Salah satu aspek paling penting yang sering diabaikan dalam kasus-kasus serupa adalah relasi kuasa. Dalam hubungan antara guru dan murid, terutama ketika guru adalah figur agama, terjadi ketimpangan kuasa yang signifikan. Guru memiliki wewenang, pengaruh, dan otoritas moral yang tinggi atas murid. Dalam banyak kasus, kekuasaan ini digunakan untuk memanipulasi, mengintimidasi, atau membujuk korban agar menuruti keinginan pelaku.
Ketika seorang guru agama menjalin hubungan dengan siswinya, maka yang terjadi bukanlah hubungan setara, melainkan eksploitasi. Dalam banyak teori sosiologis, relasi semacam ini digolongkan sebagai abuse of power atau penyalahgunaan otoritas untuk keuntungan pribadi. Siswi yang mungkin mengalami kekaguman atau ketergantungan emosional pada gurunya tidak sedang jatuh cinta, melainkan sedang terperangkap dalam perangkap kuasa.
Bahkan dalam situasi di mana tidak ada paksaan fisik, pengaruh guru bisa menjadi bentuk paksaan psikologis. Murid bisa merasa takut, bingung, atau tidak mampu menolak, karena tidak ingin melawan figur otoritatif yang ia hormati. Dalam banyak kasus, ketidakberdayaan ini justru membuat korban disalahkan, sementara pelaku melenggang bebas dengan dalih “tidak ada paksaan”.
Konsep ini semakin ditegaskan dalam Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuasaan atau kepercayaan untuk melakukan perbuatan seksual terhadap anak adalah bentuk kekerasan seksual yang dapat dipidana. Ini membuktikan bahwa relasi kuasa telah diakui sebagai sarana kekerasan dalam hukum positif Indonesia.
Oleh karena itu, kita tidak boleh terjebak pada narasi "saling suka". Justru dalam relasi seperti ini, kekerasan psikologis dan manipulasi adalah bentuk paksaan yang paling halus namun paling menghancurkan. Pendidikan dan agama adalah ruang sakral, dan siapa pun yang mencemarinya harus ditindak tegas demi keadilan dan kemanusiaan.
Seksual Tanpa Kekerasan Fisik Pun Tetap Kejahatan
UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memberikan payung hukum yang lebih progresif dan komprehensif dalam menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang tidak selalu meninggalkan bekas fisik. Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak tetap dikategorikan sebagai tindak pidana, meski tanpa kekerasan fisik. Ini menjadi jawaban atas dalih pelaku yang sering menyatakan bahwa tidak ada unsur pemaksaan.
UU TPKS mengakui bahwa kekerasan seksual bisa terjadi dalam bentuk pemaksaan non-fisik seperti bujuk rayu, ancaman psikologis, tekanan sosial, hingga penyalahgunaan relasi kuasa. Pasal 15 UU TPKS menambahkan bahwa penyalahgunaan kuasa oleh guru terhadap siswi adalah kejahatan tersendiri. Undang-undang ini menegaskan bahwa relasi kuasa yang timpang cukup menjadi bukti adanya tindak kekerasan seksual.
Selain itu, UU TPKS juga menekankan pentingnya pemulihan korban, bukan hanya penghukuman pelaku. Negara diwajibkan memberikan pendampingan psikologis, hukum, serta perlindungan kepada anak yang menjadi korban. Hal ini penting karena trauma yang dialami korban kekerasan seksual bersifat jangka panjang dan bisa menghancurkan masa depannya.
Dalam konteks pendidikan, penerapan UU TPKS menjadi sangat krusial. Banyak kekerasan seksual di sekolah yang tidak terungkap karena dianggap aib. Bahkan, tak jarang korban dipaksa berdamai demi menjaga nama baik sekolah. Dengan UU TPKS, setiap kasus wajib ditangani secara hukum dan korban berhak atas pemulihan tanpa syarat.
Kita harus menyadari bahwa semakin halus bentuk kekerasan, semakin besar potensi luka yang ditinggalkan. Kekerasan seksual tanpa kekerasan fisik bukan berarti tanpa penderitaan. Justru, karena korban tidak bisa berteriak, maka negara dan masyarakat lah yang harus bersuara untuknya.
Pendidikan Tak Akan Berkah Bila Dibiarkan Najis
Pendidikan adalah fondasi peradaban. Bila ruang pendidikan dicemari oleh predator seksual, apalagi yang bersembunyi di balik jubah moralitas, maka itu pertanda kerusakan sistemik. Seorang guru yang melakukan kekerasan seksual terhadap muridnya telah mencemari nilai-nilai dasar pendidikan. Ini bukan pelanggaran biasa. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanah bangsa.
Masyarakat dan aparat tidak boleh memandang ringan kasus seperti ini. Tak boleh ada perdamaian keluarga, apalagi penekanan terhadap korban demi menjaga citra institusi. Anak-anak bukan alat tawar-menawar. Ketika satu anak menjadi korban, maka sejatinya seluruh generasi sedang terancam.
Aparat penegak hukum harus berani menindak meski pelaku berlindung di balik jabatan atau simbol agama. Kepolisian, kejaksaan, hingga lembaga pendidikan wajib menegakkan perintah konstitusi, yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia, termasuk anak-anaknya. Bila tidak, kita sedang mewariskan generasi penuh luka.
Pendidikan tak akan membawa keberkahan jika ruangnya dibiarkan najis oleh kelakuan bejat. Negara tidak boleh kalah oleh intimidasi, dan masyarakat tidak boleh diam karena takut. Ketika kebenaran disuarakan, maka perlindungan terhadap anak-anak akan menjadi nyata.
Kita tidak sedang bicara tentang aib keluarga. Kita sedang bicara tentang pelanggaran hukum dan hak asasi anak. Dan dalam hal ini, tidak ada ruang kompromi. Dalih suka sama suka adalah tipu daya. Yang ada hanyalah satu kata yakni ADILI!
Ditulis oleh: Redaksi KuninganSatu.com
Sebagai Sebuah Refleksi Atas Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Terhadap Siswa Oleh Guru Yang Terjadi di Kabupaten Kuningan