
KuninganSatu.com,- Isu turunnya opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Kuningan Tahun Anggaran 2024 dari Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP) semakin bergema dan sulit dibendung. Bersamaan dengan itu, mencuat pula dugaan fraud berskala besar dalam pengelolaan keuangan daerah yang menjadi sebuah sorotan serius dalam audit tahun ini yang menyulut kegelisahan publik.
Kendati belum ada klarifikasi resmi dari BPK RI Perwakilan Jawa Barat maupun Pemerintah Kabupaten Kuningan, isu ini telah menyebar luas dan mengguncang persepsi publik. Kalangan ASN, pelaku usaha lokal, hingga elemen masyarakat sipil mempertanyakan integritas sistem keuangan daerah yang selama ini diklaim stabil dan transparan, namun kini diterpa tanda tanya besar.
Yang menambah kecurigaan adalah fakta bahwa selama sembilan tahun berturut-turut Kabupaten Kuningan berhasil mempertahankan opini WTP, sebuah prestasi yang kerap dijadikan simbol keberhasilan dalam berbagai forum resmi dan dokumen perencanaan. Jika WDP benar-benar menjadi kenyataan, maka ini bukan sekadar koreksi administratif, melainkan tamparan keras terhadap kredibilitas tata kelola keuangan daerah.
Momen mencuatnya isu ini juga sangat sensitif, bertepatan dengan berakhirnya masa 100 hari kerja pemerintahan baru Bupati dan Wakil Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar - Tuti Andriani. Alih-alih menjadi panggung unjuk keseriusan dan kapabilitas, masa awal kepemimpinan ini justru dibayangi ancaman persoalan struktural dan hukum yang berpotensi besar mencoreng citra pemerintah.
Salah satu akar permasalahan yang terus disorot adalah tunda bayar dalam praktik utang jangka pendek pemerintah kepada pihak ketiga yang selama tiga tahun terakhir menjadi beban fiskal laten. Meskipun secara normatif diperbolehkan, jika tidak dicatat dan dilaporkan secara aktual sesuai standar, tunda bayar dapat menjadi penyimpangan material yang menggerus kualitas opini audit.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan mewajibkan pengungkapan kewajiban, termasuk tunda bayar, secara memadai dalam laporan keuangan. Ketidakpatuhan terhadap prinsip ini memberi legitimasi bagi BPK untuk menyampaikan pengecualian terhadap kewajaran laporan keuangan daerah.
Namun berdasarkan isu yang beredar dan menjadi perhatian lebih besar dari BPK dan masyarakat adalah indikasi adanya fraud yang terlalu besar. Sumber-sumber internal menyebutkan bahwa terdapat sejumlah anggaran belanja barang dan jasa yang diduga tidak memiliki bukti pertanggungjawaban yang sah, bahkan ada dugaan kegiatan yang dalam realitasnya tidak pernah dilaksanakan, namun anggarannya telah dicairkan sepenuhnya.
Selain itu, terdapat dugaan pengeluaran yang diklaim sebagai belanja modal, namun secara fisik tidak ditemukan hasilnya di lapangan. Ketidaksesuaian ini memunculkan dugaan manipulasi laporan keuangan dengan sengaja untuk menutupi praktik korupsi berjamaah. Beberapa kontrak pengadaan juga diduga mengalami mark-up harga secara sistematis, yang tidak sesuai dengan nilai pasar wajar.
Dari perspektif hukum, konsekuensi opini WDP disertai dugaan fraud bukan persoalan ringan. Sesuai UU Nomor 15 Tahun 2004, pemerintah daerah wajib menindaklanjuti rekomendasi BPK dalam waktu maksimal 60 hari. Namun, jika audit mengindikasikan kerugian negara akibat penyimpangan, maka kasus tersebut dapat diteruskan ke aparat penegak hukum.
Apabila dugaan fraud terbukti, perbuatan tersebut dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001. Bahkan tanpa keterlibatan langsung dalam teknis pencairan anggaran, kepala daerah tetap memikul tanggung jawab hukum sebagai penanggung jawab tertinggi atas pelaksanaan APBD dan pengelolaan keuangan daerah, sebagaimana tertuang dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c UU No. 23 Tahun 2014.
Dalam situasi ini, pemerintah daerah bersama DPRD sebagai lembaga pengawasan anggaran wajib menunjukkan sikap terbuka dan tanggap. Ketertutupan atau sikap abai hanya akan menyuburkan spekulasi liar dan memperdalam krisis kepercayaan terhadap institusi pemerintahan yang ada.
Andika Ramadhan, mahasiswa dan pengamat kebijakan publik di Kabupaten Kuningan, menilai bahwa opini WDP disertai dugaan fraud, jika benar terjadi, adalah “alarm besar” yang menandakan disharmoni serius antara retorika pencapaian dan kondisi riil keuangan daerah.
“Selama sembilan tahun Kuningan terbiasa dengan WTP. Itu jadi simbol kebanggaan yang selalu diklaim. Tapi kalau tiba-tiba WDP muncul, ditambah isu fraud besar-besaran, itu artinya sistem kita retak dan perlu dibenahi secara serius,” ujar Andika, Kamis (22/5/2025).
Ia juga mengungkap bahwa sejak dua tahun terakhir BPK telah memberi peringatan keras agar Pemkab Kuningan membenahi pola penganggaran dan segera menyelesaikan kewajiban tunda bayar. Ketidaksanggupan memenuhi catatan tersebut selama tiga tahun berturut-turut menjadi sinyal kuat bahwa turunnya opini adalah akibat logis dari pembiaran sistemik.
“Kalau kita objektif menilai, opini WDP itu sangat mungkin. Tunda bayar yang tak kunjung tuntas selama tiga tahun, ditambah potensi dugaan fraud besar, adalah kombinasi yang mematikan. Ini bukan muncul tiba-tiba, tapi buah dari pengabaian yang lama dibiarkan,” tegasnya.
Andika menutup dengan harapan agar pemerintahan baru tak berlindung di balik kegagalan masa lalu.
“Jika ini terjadi di masa transisi, justru saatnya kepemimpinan baru tampil tegas dan bersih. Bukan bersembunyi, tapi mengambil posisi untuk melakukan reformasi total,” pungkasnya.
Kini, publik menanti apakah isu WDP dan dugaan fraud ini akan dijawab dengan keterbukaan dan langkah korektif serius? Atau justru dibiarkan menjadi bara dalam sekam yang berpotensi meledak menjadi krisis hukum dan kepercayaan yang lebih luas?
(red)