
KuninganSatu.com,- Di tengah kebanggaan atas prestasi generasi muda, sebuah ironi kembali menampar wajah Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Syafia Aqeela Khaureen, bocah 10 tahun asli Kuningan, berhasil menjadi Juara 1 dalam ajang Ciplaz Got Talent 2025 di Garut. Namun yang menyayat, ia membawa nama Kota Garut, bukan daerah kelahirannya sendiri.
Kompetisi bakat bergengsi itu digelar di tujuh kota besar — Jakarta, Karawang, Garut, Lampung, Cilegon, Depok, dan Sidoarjo — dengan total lebih dari 700 peserta yang disaring secara online. Dari tiap kota, 40 peserta terpilih untuk tampil secara langsung dan hanya 3 terbaik yang dipilih. Khaureen keluar sebagai juara tertinggi dari Ciplaz Garut dan kini bersiap menuju Grand Final yang akan digelar di Jakarta, 17 Mei 2025 mendatang.
Khaureen bukan anak Garut. Ia lahir dan besar di Kuningan. Tapi justru Garut yang melihat potensi itu. Garut yang memfasilitasi, mendukung, dan memberi panggung. Lalu, di mana peran Kuningan? Mengapa anak daerah harus ‘hijrah’ dulu agar bisa bersinar?
Kisah Khaureen bukan yang pertama. Tapi ini jadi simbol dari lemahnya perhatian pemerintah daerah terhadap potensi seni dan budaya lokal. Sementara daerah lain agresif membina, memberi ruang, dan mempromosikan bakat muda, Kuningan justru seakan tertidur, hanya muncul saat sudah ada prestasi.
"Kami sangat bangga dengan pencapaian ini. Tapi ada rasa miris. Khaureen itu anak Kuningan, tapi kenapa bisa mewakili Garut? Karena tak ada panggung di sini," ujar salah satu keluarga Khaureen dengan nada kecewa.
Kejadian ini membuka fakta bahwa minimnya wadah dan dukungan terhadap anak-anak berbakat di Kuningan masih menjadi masalah serius. Bahkan untuk ikut kompetisi pun, banyak yang harus berjuang sendiri tanpa dukungan moral, apalagi logistik dari pemerintah.
Ironisnya, pemerintah daerah sering kali cepat mengklaim keberhasilan saat anak daerah sukses di luar. Tapi saat proses perjuangan, mereka tak hadir. Dukungan tak lebih dari seremonial dan tepuk tangan belaka.
Sudah saatnya Pemkab Kuningan melakukan introspeksi. Jika tidak segera dibenahi, maka Kuningan hanya akan menjadi "pabrik bakat" yang prestasinya justru dipanen oleh daerah lain.
Anak-anak seperti Khaureen seharusnya menjadi inspirasi. Tapi juga peringatan. Bahwa jika daerah tak peduli, maka anak-anak terbaiknya akan mencari tempat lain untuk bermimpi dan mengukir sejarah.
(red)