
KuninganSatu.com,- Suasana Gedung DPRD Kuningan, Kamis (15/5/2025) berubah menjadi ruang curahan hati rakyat. Di balik meja-meja audiensi, keluhan dan air mata warga mengalir dalam forum terbuka yang membahas dugaan kejanggalan lelang agunan kredit oleh PT Permodalan Nasional Madani (PNM) melalui unit ULaMM. Nama Fariz mencuat sebagai simbol perlawanan warga kecil yang merasa terinjak prosedur dan sistem.
Fariz, seorang debitur, dengan suara bergetar mengisahkan perjuangannya yang kandas.
“Saya sudah bayar cicilan selama 18 bulan. Tapi begitu usaha saya goyah, saya langsung diganjar SP bertubi-tubi. Rumah saya dilelang tanpa sempat saya bangkit,” ujarnya, memandangi para wakil rakyat dengan harap.
Cerita Fariz bukan satu-satunya. Sejumlah warga, ormas, dan LSM ikut bersuara, membeberkan pola serupa yang dialami masyarakat lainnya. Mereka menuding PT PNM ULaMM melakukan tindakan sepihak yang merugikan, bahkan menyebut adanya mafia lelang yang memainkan harga agunan jauh di bawah nilai wajar.
Nana Barak, salah satu perwakilan forum warga, menegaskan bahwa taksiran lelang yang dilakukan sangat tidak masuk akal. “Kami tidak menolak bayar, kami hanya ingin keadilan. Nilai agunan seperti sengaja ditekan. Ini bentuk ketidakadilan yang melukai rakyat kecil,” ucapnya lantang.
Musafa dari Ormas Gibas bahkan menyebut bahwa lembaganya, yang kerap dicap preman, justru hadir membela rakyat.
“Yang preman bukan kami. Justru PNM ULaMM yang bertindak semena-mena. Kalau dari awal DPRD hadir, rakyat tak perlu datang sambil menangis seperti ini,” katanya dengan nada tinggi.
Tak ketinggalan, Yusuf Dandi Asih, seorang aktivis, membeberkan banyaknya laporan dari masyarakat dengan pola kasus yang sama: penyitaan aset rumah tangga secara cepat dan pembayaran cicilan yang tidak tercatat secara transparan.
Menanggapi semua tuduhan, perwakilan PT PNM ULaMM menyampaikan bahwa mereka telah menjalankan seluruh prosedur sesuai aturan.
“Kami tidak bertindak di luar SOP. Semua surat peringatan dan proses lelang sudah dilakukan sesuai ketentuan,” tegasnya.
KPKNL Cirebon dan Pengadilan Negeri Kuningan turut hadir memberikan klarifikasi. Pihak KPKNL menjelaskan bahwa tugas mereka hanya menjalankan proses lelang atas dasar dokumen resmi dari kreditur. Sementara pihak pengadilan menyatakan gugatan Fariz tak dapat diterima karena alasan formalitas, sehingga proses eksekusi tetap berjalan.
Dari sisi advokasi hukum, Ketua LBH Gamas menyoroti pentingnya penilaian agunan dilakukan oleh pihak independen.
“Tidak adil kalau yang menaksir harga justru pihak yang berkepentingan. Harga rumah warga dilelang jauh dari harga pasar. Ini bentuk ketimpangan,” katanya.
Meski forum berlangsung panas, harapan kembali muncul di ujung forum. Pimpinan DPRD Kuningan, Nuzul Rachdy, menyatakan bahwa DPRD tidak akan mengintervensi proses hukum. Namun, ia menegaskan komitmen untuk membuka ruang mediasi baru.
“Kita tidak bisa mengubah yang sudah terjadi, tapi kita bisa mencegah agar tak terjadi lagi. Kami siap fasilitasi negosiasi antara warga dan PNM di luar pengadilan,” ujarnya disambut tepuk tangan warga.
Siang ini, gedung dewan menjadi saksi bahwa suara rakyat masih punya tempat. Bahwa di balik angka-angka dan prosedur, ada kehidupan yang harus dilindungi. Dan bahwa mungkin, keadilan bisa ditemukan bukan hanya di ruang sidang, tapi juga di ruang dengar yang tulus.
(dika)