
KuninganSatu.com,- Pernyataan tegas yang disampaikan Anton, salah satu pengusaha pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Kuningan, mendapat tanggapan positif dari rekan sesama pelaku usaha pengadaan barang dan jasa, Toto Gloria. Dalam wawancara khusus dengan KuninganSatu.com, Sabtu (10/5/2025), Toto mengapresiasi keberanian Anton menyuarakan keresahan yang selama ini dirasakan oleh banyak penyedia jasa namun belum berani diungkap secara terbuka.
“Yang disampaikan Kang Anton bukan semata keluhan pribadi, tapi cermin dari kondisi nyata yang sedang dihadapi oleh pelaku usaha pengadaan barang dan jasa di daerah ini. Kami sangat menghargai keberanian beliau. Suara itu menjadi alarm moral bagi pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan dampak dari kebijakan keuangannya terhadap kelangsungan usaha kecil-menengah,” ujar Toto.
Menurut Toto, banyak pelaku usaha lokal yang menggantungkan kelangsungan bisnisnya dari proyek-proyek pemerintah, khususnya di sektor konstruksi dan pengadaan barang/jasa. Oleh karena itu, keterlambatan pembayaran dapat menimbulkan efek domino yang berbahaya, bukan hanya bagi penyedia, tetapi juga bagi tenaga kerja dan mitra usaha yang terkait di dalamnya.
“Arus kas itu nyawa usaha kami. Ketika hak pembayaran tertunda tanpa kejelasan, bukan hanya perusahaan yang terdampak, tapi juga karyawan, vendor, dan ekonomi lokal secara keseluruhan,” tambahnya.
Toto menilai bahwa seruan Anton tidak hanya memuat kritik, tetapi juga menawarkan pijakan hukum yang kuat berdasarkan regulasi yang berlaku, mulai dari Perpres 16 Tahun 2018 hingga UU Perbendaharaan Negara. Ini menunjukkan bahwa penyedia jasa tidak sekadar menuntut, tetapi juga memahami batasan dan kewajiban hukum dalam kontrak kerja sama dengan pemerintah.
“Pernyataan beliau sangat proporsional. Kita bukan sedang mencari kambing hitam, melainkan mengajak semua pihak untuk kembali pada prinsip akuntabilitas dan keadilan dalam tata kelola keuangan daerah,” tegas Toto.
Lebih lanjut, Toto berharap agar pemerintah daerah merespons secara terbuka dan konstruktif, serta membuka ruang dialog dengan para penyedia jasa. Ia menegaskan pentingnya menjaga kepercayaan antara pemerintah dan dunia usaha demi mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang sehat dan berkelanjutan.
“Kami ingin terus bekerja sama dengan pemerintah, tapi dengan dasar kepercayaan dan kepastian hukum. Semoga ini jadi momentum perbaikan bersama,” tandasnya.
Selain persoalan tunda bayar, Toto Gloria juga menyoroti praktik swakelola yang diterapkan dalam proyek rehabilitasi dan pembangunan sekolah oleh pemerintah daerah, yang menurutnya melanggar ketentuan hukum yang berlaku dalam sektor konstruksi. Toto mengungkapkan kekesalannya terkait kebijakan sewenang-wenang yang sering kali diterapkan dalam pengelolaan proyek konstruksi pemerintah, khususnya dalam sektor pendidikan.
“Pemerintah harusnya lebih bijaksana dalam mengelola proyek-proyek konstruksi, terutama di sektor pendidikan. Swakelola dalam proyek konstruksi itu jelas-jelas melanggar Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 2 Tahun 2017, serta Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2010 dan Perpres No. 16 Tahun 2018. Dalam regulasi tersebut, pekerjaan konstruksi seharusnya tidak bisa diswakelola, kecuali ada kondisi tertentu yang memungkinkan,” tegas Toto.
Toto menjelaskan bahwa Pasal 30 dan Pasal 80 Undang-Undang Jasa Konstruksi secara tegas mengamanatkan bahwa pekerjaan konstruksi harus dikerjakan oleh penyedia jasa konstruksi yang memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) dan Sertifikat Kualifikasi Kerja (SKK). Menurutnya, kebijakan yang membolehkan proyek konstruksi diswakelola hanya akan merugikan penyedia jasa yang seharusnya mendapatkan kesempatan yang adil untuk berkompetisi.
“Tidak ada peraturan manapun yang membolehkan pekerjaan konstruksi diswakelola. Kalau pun pemerintah ingin menerapkan swakelola, harus ada prosedur yang jelas, salah satunya dengan memastikan bahwa tidak ada penyedia jasa konstruksi yang berminat. Ini pun harus melalui pernyataan minat. Tetapi kenyataannya, kebijakan ini lebih sering karena alasan politis dan bukan berdasarkan regulasi yang jelas,” jelas Toto.
Dia menambahkan bahwa kebijakan yang mengabaikan aturan ini hanya memperburuk situasi, terutama terkait dengan pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang disalurkan untuk bidang pendidikan.
"Ketika DAK yang dananya sudah ready malah diswakelola, sementara APBD daerah yang tunda bayar, itu benar-benar parah. Ini menjadi kontradiksi yang nyata dan bisa merugikan banyak pihak,” katanya.
Menurut Toto, praktik swakelola yang diterapkan tanpa dasar hukum yang kuat, selain merugikan penyedia jasa, juga menghambat pengembangan usaha konstruksi lokal. Dia mengingatkan pentingnya untuk mematuhi hukum yang ada agar sektor konstruksi dapat berkembang dengan sehat dan berkelanjutan, serta memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
“Penyedia jasa konstruksi di daerah ini memiliki kompetensi yang cukup untuk menangani proyek pemerintah, namun dengan kebijakan yang tidak sesuai regulasi, kami jadi dirugikan. Ini juga bisa berdampak buruk pada kualitas pekerjaan yang dihasilkan,” tutup Toto.
(red)