Kuningan Satu

Kuningan Satu

  • Business
  • _Strategy
  • _Economy
  • _Finance
  • _Retail
  • _Advertising
  • _Careers
  • _Media
  • _Real Estate
  • _Small Business
  • _The Better Work Project
  • _Personal Finance
  • Tech
  • _Science
  • _AI
  • _Enterprise
  • _Transportation
  • _Startups
  • _Innovation
  • Markets
  • _Stocks
  • _Indices
  • _Commodities
  • _Crypto
  • _Currencies
  • _ETFs
  • Lifestyle
  • _Entertainment
  • _Culture
  • _Travel
  • _Food
  • _Health
  • _Parenting
  • Politics
  • _Military & Defense
  • _Law
  • _Education
  • Reviews
  • _Tech
  • _Streaming
  • _Tickets
  • _Kitchen
  • _Style
  • _Beauty
  • _Gifts
  • _Deals
  • Video
  • _Big Business
  • _Food Wars
  • _So Expensive
  • _Still Standing
  • _Boot Camp
  • Beranda
  • Air Bersih
  • Hak Atas Air
  • Keadilan Sosial
  • Konstitusi
  • Kritik Kebijakan
  • Lingkungan
  • Neoliberalisme
  • Opini & Tajuk Redaksi
  • Pancasila
  • PP Air Minum
  • Privatisasi SDA
  • UU SDA

Editorial: Air Ini Milik Siapa?

Oleh Redaksi
Juli 27, 2025


Di sebuah negeri tropis yang kaya akan curah hujan, gunung, dan sungai, ada jutaan orang yang harus membeli air bersih dari truk tangki atau menimba air dari sungai yang tercemar limbah domestik dan industri. Ironisnya, di tempat yang sama, perusahaan-perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) menyedot ribuan liter air setiap hari dari mata air pegunungan dengan izin legal dari negara, dan menjualnya ke kota-kota besar dengan harga berlipat. Maka muncul pertanyaan mendasar, Air ini milik siapa?

Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air, manusia, tumbuhan, dan hewan tidak bisa hidup. Namun ketika air menjadi barang dagangan, maka kehidupan telah diprivatisasi. Hak yang mestinya melekat pada setiap warga negara kini hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar. Ini bukan hanya persoalan sosial-ekonomi. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang disahkan oleh negara.

Konstitusi Indonesia dengan tegas menjamin bahwa air adalah milik publik. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa konstitusi kini semakin jauh dari realitas. Yang terjadi justru pengkhianatan yang sistemik atas nama pembangunan, investasi, dan efisiensi. Air tidak lagi dilihat sebagai hak rakyat, tetapi sebagai komoditas yang bisa dijadikan obyek bisnis. Negara tidak lagi menjaga, tapi ikut menjual.

Yang menyedihkan, banyak masyarakat bahkan tidak sadar bahwa air adalah haknya yang dijamin oleh konstitusi. Ketika pemerintah membiarkan perusahaan menguras mata air, rakyat sekitar tidak punya kuasa untuk menghentikannya. Dalam banyak kasus, mereka yang melawan justru dituduh sebagai penghambat pembangunan. Rakyat yang mempertahankan hak hidupnya dianggap ancaman. Ini adalah absurditas dalam demokrasi.


Konstitusi Dilanggar, Negara Abai?

Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk laba korporasi, bukan untuk keuntungan politik kepala daerah, dan bukan untuk pemasukan APBD. Air adalah mandat konstitusi, bukan potensi bisnis.

Namun tafsir “dikuasai oleh negara” telah diselewengkan menjadi “dimiliki oleh pemerintah dan bisa dilepas melalui perizinan kepada swasta.” Ini adalah tafsir berbahaya yang melegalkan penyerahan hak hidup rakyat kepada pasar. Ketika pemerintah memberi izin eksploitasi air kepada perusahaan untuk jangka 20 hingga 30 tahun, maka hak masyarakat selama tiga dekade telah dipangkas hanya dengan satu tanda tangan.

Lebih jauh lagi, negara tidak hanya gagal melindungi, tetapi juga aktif memfasilitasi praktik komersialisasi air. Berbagai kepala daerah dengan bangga mengumumkan kerja sama pengelolaan air bersih dengan perusahaan asing atau swasta nasional. Mereka menyebutnya "inovasi kebijakan", padahal sejatinya adalah bentuk pemiskinan struktural dan pengalihan sumber daya publik ke kantong privat.

Jika konstitusi menyebut bahwa kekayaan alam harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka patut kita tanyakan, siapa rakyat yang dimaksud? Apakah yang dimaksud hanya elite politik, pemilik modal, dan birokrat yang mendapat fee? Karena dalam praktiknya, rakyat kebanyakan justru hanya mendapat sisa. Bahkan kerap hanya menjadi penonton saat sumber airnya dikeruk.

Hak atas air bukan hadiah dari negara kepada rakyat. Ia adalah hak kodrati yang seharusnya dilindungi dengan segala instrumen hukum. Namun jika negara menjadikan air sebagai objek tender, maka negara telah menjadi pelaku kejahatan konstitusional yang harus dikritik keras.


Regulasi Baru, Legalisasi Privatisasi?

Setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air karena dianggap terlalu liberal dan pro-korporasi, lahirlah UU No. 17 Tahun 2019 sebagai gantinya. Harapannya akan ada perubahan arah kebijakan menuju perlindungan hak publik atas air. Tapi harapan itu nyaris mati sebelum tumbuh.

UU No. 17/2019 memang mencantumkan frasa bahwa air adalah hak rakyat. Tapi dalam pasal-pasal selanjutnya, kebijakan itu memberi jalan luas bagi swasta untuk tetap menguasai sumber air, sepanjang “kebutuhan pokok masyarakat sudah terpenuhi.” Masalahnya, siapa yang menentukan apakah kebutuhan pokok sudah terpenuhi? Jawabannya kembali kepada pemerintah yang selama ini dianggap lebih pro pasar ketimbang rakyat.

Dua peraturan turunannya, PP No. 121 Tahun 2021 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air dan PP No. 122 Tahun 2021 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), justru membuka pintu lebih lebar lagi untuk swastanisasi. PP 121 mengatur izin pengusahaan sumber daya air yang bisa diberikan kepada perusahaan hingga 20 tahun. Sedangkan PP 122 justru mendorong kerjasama dengan swasta dalam pengelolaan air minum melalui skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha).

Dengan kata lain, regulasi terbaru bukan memperbaiki, tapi memperhalus privatisasi. Perubahan hanya terjadi pada bahasa, bukan pada isi. Spiritnya tetap sama yakni air diperlakukan sebagai barang ekonomi. Negara bukan lagi pelindung, melainkan pemungut pajak dan penerbit izin. Ini adalah bentuk neoliberalisme yang disamarkan dalam jubah kebijakan publik.

Lebih parah lagi, regulasi ini tidak memuat kewajiban partisipasi masyarakat secara substansial. Tidak ada keharusan untuk menyertakan masyarakat adat atau warga lokal dalam proses pengambilan keputusan. Akibatnya, perusahaan bisa leluasa beroperasi di tanah dan air yang telah lama menjadi sumber kehidupan komunitas.


Pancasila, yang Dikhianati Diam-diam

Dalam Pancasila, ada nilai-nilai yang seharusnya membimbing setiap kebijakan negara. Sila Kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab", mengajarkan bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara adil dan bermartabat. Apa artinya sila ini jika rakyat harus membeli air karena sumur mereka dikeringkan perusahaan?

Sila Kelima, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia", mengharuskan negara menjamin distribusi sumber daya secara merata. Tapi kenyataannya, ada kesenjangan besar antara mereka yang menikmati air bersih 24 jam, dan mereka yang harus menunggu giliran tangki air datang ke dusun mereka.

Sila Ketiga, "Persatuan Indonesia", tergerus ketika konflik sosial terjadi akibat eksploitasi air. Di banyak daerah, konflik antara masyarakat dan perusahaan air minum kerap pecah. Rakyat yang kehilangan air melawan. Pemerintah mengerahkan aparat. Perpecahan horizontal ini tidak akan muncul jika air dikelola secara adil dan kolektif.

Sila Keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan", mewajibkan keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan. Tapi adakah musyawarah saat izin eksploitasi air dikeluarkan? Adakah ruang bagi petani, nelayan, dan warga desa untuk mengatakan tidak? Hampir tidak ada.

Dan Sila Pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa", yang sering dijadikan pembuka pidato-pidato pejabat, mengajarkan bahwa manusia harus menjaga ciptaan Tuhan. Lalu di mana letak ketakwaan ketika air yang merupakan anugerah Tuhan yang vital kini diperdagangkan untuk merusak kehidupan?


Saatnya Negara Memihak, Bukan Menjual

Sudah cukup kita diam. Sudah cukup kita menoleransi negara yang menyamar sebagai pasar. Sudah waktunya untuk membongkar tatanan pengelolaan air yang menindas. Negara harus mengembalikan air kepada rakyat, bukan kepada pemegang saham.

Langkah pertama adalah moratorium semua izin baru eksploitasi air oleh swasta. Langkah kedua, audit menyeluruh terhadap izin yang sudah dikeluarkan, termasuk dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan. Langkah ketiga, revisi PP No. 121 dan 122 Tahun 2021, agar berpijak pada prinsip keadilan, keberlanjutan, dan partisipasi rakyat.

Air bukan milik negara. Bukan milik pasar. Bukan milik investor. Air adalah milik kehidupan, dan hak rakyat yang dijamin konstitusi. Negara yang gagal menjamin hak atas air adalah negara yang telah melepaskan tanggung jawab moral dan konstitusionalnya.


Air ini milik siapa? Jawabannya tidak boleh lagi abu-abu. Jika bukan milik rakyat, maka negara sedang berjalan menuju pengkhianatan besar.



Ditulis oleh: Redaksi KuninganSatu.com


Referensi Regulasi:

UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3)

UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air

PP No. 121 Tahun 2021 tentang Pengusahaan SDA

PP No. 122 Tahun 2021 tentang SPAM

Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013

Tags:
  • Air Bersih
  • Hak Atas Air
  • Keadilan Sosial
  • Konstitusi
  • Kritik Kebijakan
  • Lingkungan
  • Neoliberalisme
  • Opini & Tajuk Redaksi
  • Pancasila
  • PP Air Minum
  • Privatisasi SDA
  • UU SDA
Bagikan:
Baca juga
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Berita terkait
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Berita terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Tampilkan lebih banyak
Posting Komentar
Batal
Most popular
  • 1.860 Pelaku Bisnis WiFi Ilegal di Kuningan, Uha: Polres Tutup Mata Atau Main Mata?

    Agustus 03, 2025
    1.860 Pelaku Bisnis WiFi Ilegal di Kuningan, Uha: Polres Tutup Mata Atau Main Mata?
  • Omzet Puluhan Juta Tapi Selalu Was-was, Pengusaha RT RW Net Kuningan Ungkap Realita Pahit

    Agustus 03, 2025
    Omzet Puluhan Juta Tapi Selalu Was-was, Pengusaha RT RW Net Kuningan Ungkap Realita Pahit
  • Skandal Guru dan Siswi, Alumni: Mencoreng Nama Baik Sekolah!

    Juli 29, 2025
    Skandal Guru dan Siswi, Alumni: Mencoreng Nama Baik Sekolah!
  • Heboh Dugaan Asusila Guru SMAN 3 Kuningan, Kepsek: Sekolah Tetap Kondusif!

    Juli 29, 2025
    Heboh Dugaan Asusila Guru SMAN 3 Kuningan, Kepsek: Sekolah Tetap Kondusif!
  • Soal Kabel Internet di Tiang Listrik, Ini Kata PLN Kuningan!

    Agustus 03, 2025
    Soal Kabel Internet di Tiang Listrik, Ini Kata PLN Kuningan!
Gila Temax
PT. SADAYA MEDIA UTAMA
  • Tentang Perusahaan
  • Karir
  • Beriklan Bersama Kami
  • Hubungi Kami
REDAKSI
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
KATEGORI BERITA
  • Pemerintahan
  • Politik & DPRD
  • Hukum & Kriminalitas
  • Ekonomi & UMKM
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Lingkungan
  • Infrastruktur & Pembangunan
  • Sosial & Kemasyarakatan
  • Kebudayaan & Tradisi
  • Pariwisata & Potensi Daerah
  • Pemuda & Pendidikan Karakter
  • Olahraga & Prestasi Daerah
  • Agama & Moderasi Beragama
  • Teknologi & Inovasi Lokal
  • Figur & Tokoh Kuningan
  • Opini & Tajuk Redaksi
PRODUK
  • Trading
  • Website Development
  • Software
  • Network Engineer
Copyright © 2025 Kuningan Satu from PT. SADAYA MEDIA UTAMA. All rights reserved.
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo