Media Bukan Corong Birokrasi!
Di tengah arus deras demokrasi yang kian kabur arahnya, media dituntut tetap menjadi jangkar kebenaran, bukan justru menjadi perpanjangan tangan birokrasi. Media yang tunduk pada kepentingan penguasa hanya akan melahirkan kekosongan informasi dan mengkhianati ruh jurnalistik yang sejatinya berpihak pada kepentingan publik, bukan elit.
Ketika Kebebasan Pers Dikompromikan
Belakangan ini, geliat media lokal maupun nasional menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Tidak sedikit media yang tampak lebih sibuk menyebarluaskan press release pemerintah ketimbang menggali kebenaran di balik realitas kebijakan. Istilah “media corong birokrasi” bukan lagi tudingan, tapi kenyataan yang kasat mata. Mereka lupa bahwa fungsi utama media bukan menjadi jubir kekuasaan, melainkan watchdog atau anjing penjaga demokrasi.
Padahal, dalam Pasal 3 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dijelaskan, "Pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial." Fungsi kontrol sosial inilah yang lumpuh ketika media memilih nyaman di pangkuan kekuasaan, alih-alih berdiri kritis di seberangnya.
Ruang Redaksi yang Terkooptasi
Tekanan terhadap media bisa berbentuk halus: iklan, kerja sama publikasi, hingga intimidasi terselubung. Wartawan yang mengkritik kebijakan pemerintah daerah sering kali diberangus secara tidak langsung seperti tidak lagi dilibatkan dalam peliputan resmi, diblokir akses informasinya, bahkan dilabeli "oposisi". Ini adalah bentuk pembungkaman gaya baru yang merusak sendi-sendi kebebasan pers.
Apakah ruang redaksi hari ini masih punya keberanian untuk menolak intervensi? Atau justru sudah nyaman menjadi “humas tidak resmi” pemerintah daerah? Bila redaksi lebih sibuk mengejar kontrak publikasi daripada memburu fakta, maka publik akan kehilangan sumber informasi yang objektif.
Menggugat Etika dan Integritas Media
Etika jurnalistik semestinya menjadi tameng utama dari infiltrasi kepentingan kekuasaan. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) mewajibkan wartawan untuk “menghasilkan berita yang faktual, akurat, tidak mencampuradukkan fakta dan opini.” Namun apa jadinya jika opini yang dibungkus sebagai berita, justru berisi puja-puji untuk kepala daerah atau pejabat tertentu?
Dalam konteks inilah, publik harus menggugat integritas media yang menyimpang. Media bukan alat propaganda, bukan juga bumper citra penguasa. Jika medianya mati rasa, maka publik pun akan mati informasi.
Bicara untuk yang Tak Bisa Bicara
Media yang berpihak pada rakyat adalah media yang berani membuka ruang bagi suara-suara marjinal seperti petani yang digusur, buruh yang diperas, warga yang terdampak proyek. Bukan media yang sibuk memoles foto seremoni pejabat dan mengabaikan konflik di lapangan.
Media sejati tahu betul, bahwa jurnalisme bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi memperjuangkan keadilan. Di sinilah letak keberpihakan yang benar dan bukan ke pemerintah, bukan ke oposisi, tapi ke kebenaran dan kepentingan publik.
Jangan Jadi Alat Kekuasaan
Sudah saatnya insan pers merenung untuk siapa kita menulis? Untuk siapa kamera diarahkan? Jika jawabannya adalah demi kepentingan rakyat, maka tugas kita belum selesai. Namun jika medianya hanya hidup untuk menyenangkan pejabat, maka media itu sudah mati dan hanya jasadnya saja yang masih tayang.
Karena media adalah suara rakyat bukan suara bikrorasi.
Ditulis oleh: Redaksi Kuningan Satu