Saat DW Ditolak Berobat, Apa Artinya BPJS bagi Rakyat Miskin?
KuninganSatu.com - Situasi terkini dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS semakin memperlihatkan ketimpangan yang bersifat struktural. Kebijakan pencabutan sepihak lebih dari 340.000 peserta Penerima Iuran Bantuan (PBI) menjadi preseden buruk yang mencerminkan lemahnya validasi sosial dan akuntabilitas sistem perlindungan negara terhadap kelompok miskin.
Kondisi ini tampak nyata dalam kasus DW, seorang siswi SMP dari Dusun Sukaraja, Desa Sukarapih, Kabupaten Kuningan. DW mengalami keluhan medis akut, termasuk pusing intens, muntah, dan iritasi parah di kulit kepala yang menyebabkan kerontokan rambut.
Namun, ketika ia berupaya memperoleh layanan kesehatan melalui BPJS, akses itu ditolak. Penyebabnya karena DW terdaftar sebagai peserta BPJS yang didanai oleh APBD Kota Bekasi, bukan Kabupaten Kuningan tempat ia kini berdomisili. Akibatnya, pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas tidak dapat diberikan.
Yang lebih mengkhawatirkan, proses pemindahan kepesertaan memerlukan biaya, dokumen, serta waktu yang tidak sepadan dengan kondisi darurat yang dihadapi. Bagi keluarga dengan keterbatasan ekonomi, hambatan ini berarti penundaan atau bahkan kehilangan akses terhadap hak paling dasar yakni hak untuk sehat dan hidup layak.
Antara Amanat Konstitusi dan Ketiadaan Negara
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945):
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”
Negara seharusnya tidak hanya mengakui hak-hak tersebut secara normatif, tetapi menjadikannya sebagai pijakan kebijakan yang operasional dan responsif. Kasus DW menunjukkan kesenjangan tajam antara amanat konstitusi dan kenyataan lapangan, serta memperlihatkan bahwa sistem jaminan sosial kita masih cenderung administratif-formalistik dan minim sensitivitas sosial.
Solidaritas Warga, Ketika Negara Tidak Hadir
Dalam situasi yang serba terbatas, Selasa (29/7/2025), Masyarakat Peduli Kuningan (MPK) bersama aparatur desa setempat dan relawan kemanusiaan Ernawati, turun langsung menemui keluarga DW. Kehadiran mereka tidak hanya mencerminkan kepedulian, tetapi juga menegaskan bahwa di tengah disfungsi kelembagaan, solidaritas masyarakat menjadi garda terdepan perlindungan sosial.
Namun solidaritas warga tidak boleh dijadikan substitusi atas kewajiban negara. Peran Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan, baik di tingkat daerah maupun pusat, harus melampaui pendekatan administratif. Mereka wajib hadir secara aktif dan tanggap dalam memastikan bahwa tidak ada satu pun warga miskin yang terpinggirkan dari layanan kesehatan hanya karena perbedaan wilayah administrasi atau kendala sistem.
MPK: Saatnya Pembenahan Menyeluruh, Bukan Perbaikan Parsial
MPK menilai, krisis ini tidak bisa ditangani dengan kebijakan tambal sulam. Diperlukan pembenahan mendasar terhadap tata kelola BPJS Kesehatan, terutama dalam hal:
1. Sinkronisasi data kepesertaan lintas wilayah,
2. Kemudahan aktivasi ulang layanan bagi warga miskin,
3. Kebijakan afirmatif yang memprioritaskan akses bagi kelompok rentan, termasuk anak-anak dan penyandang masalah sosial.
MPK mengajak seluruh elemen masyarakat sipil baik akademisi, tokoh agama, media, serta komunitas profesi untuk secara kolektif mengawal penegakan keadilan sosial di sektor kesehatan, bukan sebagai wacana, tetapi sebagai tuntutan konstitusional dan moral.
Karena kesehatan bukanlah sekadar layanan, melainkan hak asasi. Dan hak asasi tidak boleh terhambat oleh birokrasi yang gagal memahami realitas sosial rakyatnya.
(roy)