Indonesia, Masihkah Merah Darahmu dan Putih Tulangmu?
![]() |
Foto dokumentasi pinterest |
Masihkah merah darahmu mengalir deras, Indonesia? Masihkah putih tulangmu tegak berdiri tanpa patah, tanpa cela? Di tengah perayaan kemerdekaan yang setiap tahun dirayakan dengan upacara, barisan pramuka, dan gegap gempita lomba tujuhbelasan, kita bertanya, dengan getir dan gundah, adakah makna di balik warna sakral itu yang masih hidup dalam tubuh negeri ini?
Dulu, Merah Putih dikibarkan oleh tangan-tangan gemetar penuh harap. Darah tertumpah demi secarik kain itu, tulang-tulang patah demi mimpi tentang tanah merdeka. Mereka tak menuntut apa-apa, hanya satu yakni kemerdekaan yang beradab. Tapi kini, adakah kita masih bisa menyebut diri merdeka ketika ketakutan menggantikan harapan, ketika harga diri dijual murah demi kuasa, ketika kebohongan menjadi bahasa sehari-hari para pemimpin?
Merah adalah keberanian. Tapi keberanian macam apa yang kini menonjol? Beranikah para pejabat melawan arus korupsi yang mengalir seperti sungai hitam di balik layar kekuasaan? Ataukah keberanian kini justru menjadi topeng berani mengkhianati sumpah jabatan, berani menyakiti hati rakyat, berani mempermainkan hukum, karena tahu mereka dilindungi jaring kekuasaan yang saling menjerat?
Putih adalah kesucian. Tapi kesucian kini terdengar asing, seperti bahasa kuno yang tak lagi digunakan. Integritas menjadi barang langka, dan kejujuran? Ia dipajang di museum, dikenang tapi tak lagi dihidupkan. Di atas meja-meja kebijakan, yang dipertimbangkan bukan lagi nilai kebenaran, tapi nilai tawar. Bukan lagi suara rakyat, tapi suara partai dan pebisnis yang berbisik di belakang layar.
Indonesia, masihkah engkau milik semua, ataukah kini milik mereka yang punya modal, koneksi, dan kekuasaan? Masihkah anak-anak di pulau terluar itu bagian dari mimpimu, ataukah mereka hanya angka dalam statistik pembangunan? Masihkah guru-guru honorer yang bertahan dengan gaji seadanya bagian dari darahmu, ataukah mereka hanya pengisi kekosongan yang mudah dilupakan?
Kita hidup di negeri yang katanya demokratis, tapi suara rakyat nyaris tak terdengar. Kita tinggal di tanah yang kaya, tapi banyak perut yang tetap lapar. Kita mewarisi bendera pusaka, tapi maknanya seperti memudar dari lembar sejarah yang tak dibaca.
Merah Putih bukan hanya lambang, ia adalah sumpah. Ia adalah janji yang ditulis dengan darah dan ditandatangani oleh penderitaan. Maka ketika kita bertanya, “Masihkah merah darahmu? Masihkah putih tulangmu?” sesungguhnya kita sedang menagih janji. Janji dari mereka yang dulu berani mati, kepada kita yang kini hidup tak tentu arah.
Kita tak boleh hanya terpaku pada seremoni. Tak cukup hanya berpidato di atas podium, menyanyikan “Indonesia Raya” lalu kembali ke rutinitas penuh kompromi. Kemerdekaan bukan sekadar tanggal. Ia adalah tanggung jawab harian. Ia adalah keberanian berkata tidak pada penindasan, ketulusan memberi tanpa pamrih, kesediaan berkorban demi generasi yang akan datang.
Harus kita akui, belum semuanya gelap. Masih ada anak muda yang membangun desa dengan teknologi. Masih ada jaksa dan hakim yang setia pada nurani. Masih ada petani yang bangga dengan tanahnya, masih ada pemuda yang memilih jalan lurus meski sempit. Mereka adalah penjaga merah, pelindung putih. Tapi mereka sedikit, dan seringkali sendiri.
Maka bangsa ini harus bertanya lagi, di mana merah yang dulu berkobar dalam dada para pejuang? Di mana putih yang dulu jadi penuntun langkah? Jika kita terus menolak bercermin, terus membungkam kritik, terus menutup mata dari kenyataan bahwa Merah Putih itu tinggal kain, tak lebih.
Indonesia, jangan biarkan kami mengibarkan bendera tanpa makna. Jangan ajarkan anak-anak kami mencintai bangsa yang tak mencintai mereka kembali. Jangan wariskan bangsa dengan luka dan dusta. Karena jika Merah telah menjadi abu, dan Putih telah menjadi kelabu, lalu apa yang tersisa dari nama besar yang kita banggakan itu?
Mungkin, saatnya bukan hanya bertanya, tapi menjawab. Bukan hanya merayakan, tapi menghidupkan. Bukan hanya menggenggam bendera, tapi menjadi bendera itu sendiri berani, suci, dan hidup untuk semua.
Karena Indonesia bukan sekadar nama. Ia adalah tanggung jawab.
Ditulis oleh: Redaksi KuninganSatu.com