
Oleh: Mang Kaeling
Yang Datang Serba Hitam
Di sebuah negeri di kaki Gunung Ciremai, pagi hari dimulai bukan dengan doa, tapi dengan suara pengeras masjid bersaing dengan obrolan warung kopi. Negeri kecil dengan semangat besar dan rahasia yang lebih besar lagi.
Di negeri itu, setiap sudut desa punya cerita. Tapi tidak semua cerita mendapat tempat di koran. Beberapa terlalu panas untuk dicetak, terlalu getir untuk dibicarakan, dan terlalu mengguncang untuk disandingkan dengan slogan-slogan moral yang tergantung di perempatan jalan.
Salah satu kisahnya dimulai di atas panggung recehan yang dibangun dari kayu bekas dan niat seadanya. Seorang perempuan, luwes seperti asap sate malam hari, menjadi penghibur bagi mereka yang kehilangan arah tapi tidak kehilangan birahi.
Ia hidup dari suara yang serak dan tubuh yang lentur. Bukan karena cita-cita, tapi karena hidup memaksanya menjadi penghibur sebelum sempat menjadi manusia yang utuh. Di negeri ini, gelar akademik kalah dengan goyangan yang terekam dalam kamera buram.
Lalu datanglah Tuan Seribu Janji.
Sosok yang dielu-elukan saat musim kampanye, dan dilupakan oleh rakyat saat sudah duduk di kursi empuk dengan sandaran anggaran. Ia datang seperti angin malam yang dingin, sementara, dan membuat siapa pun berharap.
Dengan dasi rapi dan senyum yang dilatih di depan cermin partai, ia merapat. Menyapa bukan dengan salam, tapi dengan rayuan yang lebih politis dari pidatonya. Ia tahu, perempuan seperti ini tidak minta janji besar, cukup perhatian yang dipalsukan dengan konsisten.
Malam demi malam dilalui dalam bisu. Tidak ada saksi, tidak ada dokumentasi. Hanya ranjang murah dan cahaya redup yang menjadi tempat di mana moral publik dimatikan sejenak. Di situ, Tuan Seribu Janji tidak perlu bicara soal rakyat karena di hadapan tubuh perempuan itu, rakyat bukan lagi prioritas.
Lalu lahirlah sebuah “keberuntungan” yang ditandai dengan mual pagi dan dua garis merah yang tak diinginkan. Sebuah “tanda kasih” yang tidak masuk dalam rancangan pembangunan jangka menengah daerah.
Perempuan itu terdiam. Bukan karena malu, tapi karena negeri ini mengharuskan perempuan menyalahkan diri sendiri, bahkan ketika yang bersalah tak pernah hadir sejak awal.
Ia mencari. Ia menunggu. Ia mengetuk pintu-pintu yang dijaga ajudan, menelepon nomor yang kini sibuk sepanjang masa. Ia bahkan mendatangi rumah tempat Tuan Seribu Janji bangun pagi.
Namun yang ia dapat hanya sunyi. Sunyi yang pekat, dibungkus dengan retorika dan pencitraan. Tuan Seribu Janji telah kembali ke panggungnya bukan panggung musik malam, tapi panggung politik siang hari. Ia tampil di acara peresmian sumur bor, memegang cangkul, menyebut kata "rakyat" seperti mantra yang sudah kehilangan makna.
Sementara itu, rahim perempuan itu terus menua bersama waktu. Ia menanggung beban dua jiwa, tapi satu jiwa memilih bersembunyi di balik nama besar dan fasilitas negara.
Anak itu tak akan lahir dalam kemewahan. Ia tidak akan disambut karangan bunga. Tapi ia akan tumbuh bersama cerita tentang seorang laki-laki yang pandai berkata-kata di atas podium, tapi bisu di hadapan tanggung jawab.
Dan di kaki Gunung Ciremai, cerita itu akan terus hidup. Tak tercetak, tapi tersimpan. Tak viral, tapi dikenang. Karena bahkan gunung pun bisa marah jika terlalu banyak janji yang diucapkan tanpa ditepati.
Tuan Seribu Janji mungkin lupa. Tapi rahim rakyat tidak. Ia menyimpan luka seperti tanah menyimpan jejak diam, tapi dalam.
Dan ketika suatu hari anak itu berdiri di depan baliho besar, menatap wajah tersenyum palsu yang tak pernah hadir di sisinya, mungkin ia akan bertanya dalam hati, adakah tempat di dunia ini bagi anak yang dilahirkan oleh cinta palsu dan ditinggalkan oleh kehormatan palsu?
Di negeri ini, tidak semua anak yatim kehilangan ayah karena kematian. Beberapa kehilangan karena pengecut berseragam citra.