Potret Kontradiksi Tata Kelola Olahraga Kuningan, Prestasi Dituntut Dukungan Ditiadakan
Oleh : Andika Ramadhan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kuningan
Katanya demi prestasi, tapi ternyata yang dijunjung justru gengsi. Wushu disuruh berlari akan tetapi sepatunya tak diberi. Kalimat ini rasanya cukup menggambarkan anomali yang terdapat dalam tubuh KONI dan menggambarkan situasi yang dihadapi Pengcab Wushu Kuningan. Di satu sisi mereka diminta membawa pulang medali, di sisi lain tak diberi amunisi untuk bertarung. Ini bukan sekadar ironi, tapi bentuk kegagalan sistemik dalam tata kelola olahraga daerah.
Sebagai mahasiswa yang memperhatikan dinamika pengelolaan anggaran publik, saya menilai bahwa yang terjadi bukan semata soal keterbatasan dana maupun anggaran, melainkan masalah pada prioritas dan keadilan alokasi. KONI Kuningan telah menunjukkan kontradiksi mendasar menargetkan medali emas, namun tidak menyediakan fasilitas yang memadai untuk proses pembinaan atlet. Bukankah ini bentuk inkonsistensi kebijakan yang patut dipertanyakan.
Lebih jauh, alasan bahwa dana hanya diberikan kepada cabang olahraga yang “berprestasi” justru menunjukkan miskonsepsi mendasar dalam memahami proses pembinaan. Prestasi tidak hadir tiba-tiba. Ia dibentuk melalui proses yang sangat panjang yang tentunya memerlukan dukungan serius, terutama dalam hal finansial. Jika pembinaan diabaikan, bagaimana mungkin prestasi bisa ditagih.
Permasalahan ini juga menyentuh sisi sosial yang lebih dalam. Banyak atlet Wushu Kuningan yang berasal dari keluarga sederhana, bahkan harus berlatih di luar kota sambil kuliah, dengan biaya latihan dan kebutuhan dasar yang tidak murah. Tanpa dukungan struktural, mereka harus mengandalkan kantong pribadi atau solidaritas internal. Kondisi ini tentu tidak ideal jika kita ingin olahraga menjadi jalan pembentukan karakter dan prestasi.
Lebih dari itu, sorotan terhadap sisa dana hibah yang tinggal Rp53 juta dari total Rp500 juta menimbulkan pertanyaan serius digunakan untuk apa dan siapa sebenarnya. Transparansi adalah kunci kepercayaan publik. Tanpa laporan penggunaan yang jelas dan akuntabel, sangat wajar jika publik mulai bersuara dan mempertanyakan integritas lembaga seperti KONI.
Karena itulah, tuntutan pembubaran KONI Kuningan periode 2023–2027 dan percepatan Musorkablub bukan sekadar letupan emosi. Itu adalah ekspresi dari akumulasi kekecewaan terhadap sistem yang tidak berpihak pada atlet dan justru menjadikan prestasi sebagai jargon kosong. Sebuah sistem yang gagal memanusiakan perjuangan di balik medali.
Maka, sudah saatnya kita mengembalikan makna keadilan dalam olahraga, sebelum medali tak lagi berarti, dan semangat juang tergantikan oleh catatan anggaran.
Pada akhirnya, mungkin Wushu Kuningan perlu mempertimbangkan kembali strategi baru yang tentunya bukan lagi latihan teknik atau fisik, tapi kursus lobi dan pelatihan presentasi proposal anggaran. Sebab tampaknya, yang lebih menentukan bukan pukulan di atas matras, tapi bisikan di balik meja. Di negeri yang medali bisa ditargetkan tanpa modal, dan prestasi dituntut tanpa subsidi, tak heran bila semangat atletik mulai tergantikan oleh kemampuan bertahan hidup. Mungkin yang perlu dipertandingkan bukan Porprov, tapi “Porkon” Pekan Olahraga KONI siapa paling lihai bertahan dalam logical fallacy dan manuver retoris.