Longsor Gunung Kuda, Alarm Keras Bagi Arunika
Kedungarum, KuninganSatu.com - Tragedi longsor di Gunung Kuda, Cirebon, yang menewaskan 21 orang dan menyebabkan 4 lainnya hilang, mengguncang publik dan menjadi titik balik dalam pembahasan keselamatan kawasan rawan bencana. Meski lokasi kejadian berbeda dari Arunika yang merupakan sebuah kawasan wisata populer di Kuningan namun menjadi sebuah pembelajaran dari insiden ini jelas bahwa jangan tunggu korban jiwa baru mulai bertindak.
Longsor memang bukan hal asing di wilayah perbukitan Jawa Barat, namun dua kejadian berturut-turut dalam kurun waktu yang tidak terlalu jauh antara Gunung Kuda dan Cilengkrang telah membuat banyak pihak mulai mempertanyakan arah pembangunan wisata berbasis alam yang semakin agresif di lereng Gunung Ciremai, termasuk di Arunika.
Gunung Kuda, Tambang Ilegal, Nyawa Melayang
Peristiwa tragis yang terjadi pada Jumat malam (30/5/2025) di Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, mengejutkan banyak pihak. Longsor besar terjadi di area penambangan galian C Gunung Kuda yang terbukti beroperasi secara ilegal. Tanpa sistem pengamanan dan mitigasi bencana yang memadai, tanah labil akhirnya runtuh menimbun pekerja tambang.
Menurut laporan resmi dari tim SAR gabungan, 21 korban ditemukan dalam kondisi meninggal dunia, sementara 4 orang lainnya masih dalam proses pencarian. Evakuasi menjadi sangat sulit karena kondisi medan yang rawan longsor susulan dan material longsoran yang sangat dalam.
Penyelidikan kepolisian mengungkap bahwa dua orang pengelola tambang, Abdul Karim dan Ade Rahman, tetap membuka operasi tambang meskipun sudah mendapat surat penghentian dari Dinas ESDM pada Januari 2025. Sikap abai terhadap peringatan itulah yang kini menempatkan keduanya sebagai tersangka utama atas kelalaian yang merenggut nyawa banyak orang.
Kejadian ini menunjukkan bagaimana lemahnya pengawasan terhadap aktivitas pertambangan di kawasan rawan bencana. Jika peraturan hanya menjadi formalitas, dan jika peringatan tidak dijalankan, maka yang terjadi bukan hanya kerusakan alam tetapi hilangnya nyawa manusia.
Cilengkrang dan Arunika Saatnya Waspada Sebelum Terlambat
Beberapa waktu sebelum tragedi Gunung Kuda, tanah longsor juga terjadi di kawasan Lembah Cilengkrang, Kuningan tepat di bawah kompleks wisata Arunika yang tengah naik daun. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini, namun dampaknya terasa di tiga desa yang berada di bawah lereng, tanah longsor membawa material tanah dan mencemari lingkungan khususnya air yang menjadi sumber kehidupan warga.
Masyarakat setempat menyatakan bahwa pembangunan wisata Arunika yang mencakup resto, vila, hingga spot swafoto seperti Joglo Arunika dan Arunika Eatery dilakukan di atas tebing curam tanpa struktur penahan yang memadai. Meski diklaim aman oleh pengelola, kenyataannya tanah mulai mengalami pergeseran akibat minimnya vegetasi alami dan tidak adanya sistem drainase yang terencana.
Isu ini sudah sempat menjadi polemik panjang antara warga, aktivis lingkungan, dan pengelola wisata. Bahkan setelah longsor terjadi, sebagian warga merasa langkah pemerintah daerah terlalu lambat dalam merespons dan terkesan lebih berpihak pada pelaku bisnis pariwisata daripada keselamatan lingkungan dan masyarakat.
Pemilik Arunika, H. Rokhmat Ardiyan, akhirnya turun langsung ke lokasi bersama pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) untuk melakukan tinjauan lapangan. Ia menyatakan komitmennya melakukan penanaman pohon dan pembangunan sistem drainase vertikal agar kejadian serupa tidak terulang.
Namun, banyak pihak menilai langkah ini belum cukup. Penguatan struktur, audit lingkungan, serta transparansi izin pembangunan perlu dilakukan secara menyeluruh. Sebab jika dibiarkan, longsor berikutnya bisa saja lebih besar dan kali ini mungkin tidak seberuntung kemarin, bisa saja memakan korban jiwa.
Arunika, Di Antara Peluang Wisata dan Ancaman Bencana
Arunika telah menjadi salah satu ikon wisata alam baru di Kuningan. Lokasinya yang berada di kaki Gunung Ciremai, pemandangan lembah yang memesona, dan udara sejuk menjadi daya tarik luar biasa. Namun justru karena letaknya yang berada di wilayah perbukitan dan rawan pergerakan tanah, pembangunan harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan ekologis.
Ledakan jumlah pengunjung dalam beberapa tahun terakhir turut mendorong investor membangun fasilitas penunjang secara masif. Namun, dalam banyak kasus, percepatan pembangunan seringkali tidak sejalan dengan studi dampak lingkungan yang komprehensif. Ini menjadikan Arunika sangat rentan jika tidak segera dikendalikan.
Para pengamat lingkungan menekankan bahwa potensi bencana di kawasan ini bukan hanya prediksi. Geologi Gunung Ciremai terdiri dari lapisan batuan vulkanik muda yang labil dan mudah terkikis. Jika vegetasi hutan terus ditebangi dan lereng terus dikupas untuk bangunan wisata, tanah akan kehilangan daya ikat dan longsor menjadi tak terhindarkan.
Pemerintah Kabupaten Kuningan menyatakan akan melakukan audit terhadap semua bangunan dan aktivitas wisata di zona rawan longsor. Namun, warga dan aktivis menekankan bahwa audit ini harus dilakukan secara independen dan menyeluruh, bukan sekadar formalitas.
Belajar dari Gunung Kuda, Selamatkan Arunika
Peristiwa longsor di Gunung Kuda memberikan pelajaran pahit yang mana ketika alam sudah memperingatkan, menutup mata adalah bentuk kejahatan yang disengaja. Arunika memang belum mengalami bencana serupa, dan semoga tidak pernah terjadi, tapi jika pembangunan tak dikendalikan, waktu hanya tinggal menunggu.
Sekarang adalah saat yang tepat untuk bertindak dan memperkuat regulasi, mengawasi pembangunan, melibatkan ahli lingkungan, dan mendengarkan suara warga yang tinggal di kaki gunung. Jangan biarkan Arunika menjadi headline berita bencana berikutnya.
"Karena satu hal yang pasti bahwa alam tidak pernah memberi peringatan dua kali tanpa sebab"
Ditulis Oleh : Redaksi KuninganSatu.com