
![]() |
Direktur PT Pesona Linggajati Kuningan, Pebry Andriansyah |
KuninganSatu.com,- Dugaan pungutan liar (pungli) atas kenaikan tarif masuk Stadion Mashud Wisnusaputra menjadi Rp10.000 mendapat respons langsung dari Direktur PT. Pesona Linggajati Kuningan (PLK), Pebry Andriansyah. Tudingan itu sebelumnya dilontarkan oleh Anggota DPRD Kabupaten Kuningan, Susanto, yang menilai bahwa penetapan tarif baru tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Retribusi Daerah.
Pebry Andriansyah menegaskan bahwa pengelolaan stadion saat ini secara sah telah dipindahtangankan kepada PT. PLK sejak akhir tahun 2024 melalui mekanisme kerja sama pemanfaatan (KSP) yang dituangkan dalam perjanjian resmi di hadapan notaris. Menurutnya, sejak saat itu pihaknya bertindak sebagai pengelola penuh atas aset tersebut berdasarkan isi kontrak yang telah disepakati bersama Pemerintah Kabupaten Kuningan melalui Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar).
“Perjanjian kerja sama ini menjadi dasar hukum yang sah bagi kami untuk mengelola stadion. Segala bentuk operasional, termasuk penyesuaian tarif, merupakan bagian dari kewenangan pengelola seperti tertuang dalam kontrak. Jadi kami tidak bertindak semena-mena,” tegas Pebry saat ditemui kuningansatu.com, Sabtu (10/5/2025).
Sebagai putra daerah, Pebry mengaku memiliki komitmen moral untuk memajukan potensi lokal, salah satunya stadion Mashud Wisnusaputra yang selama ini menjadi ikon olahraga di Kabupaten Kuningan. Ia menyebutkan bahwa PT. PLK berkomitmen tidak hanya menjaga fasilitas stadion, tetapi juga meningkatkan kualitas pelayanan, keamanan, dan kebersihan lingkungan stadion.
“Kami bukan hanya sekadar menyewakan. Stadion ini kami kelola dengan pendekatan profesional, mulai dari perawatan rutin, pengaturan jadwal kegiatan, hingga pengamanan area. Semua itu tentu memerlukan biaya operasional yang tidak kecil,” ujarnya.
Terkait nilai kontrak kerja sama, Pebry menyebutkan bahwa pihaknya menyepakati angka Rp500 juta per tahun sebagai kontribusi ke Pendapatan Asli Daerah (PAD). Nilai ini, menurutnya, bahkan lebih tinggi dari hasil perhitungan retribusi bersama pihak terkait yang hanya Rp438 juta, bahkan jika dibandingan dengan nilai sewa Stadion Bima Cirebon yang hanya Rp50 juta per tahun yang saat ini juga sudah dikelola oleh pihak ketiga, nilai sewa Stadion Mashud ini sangat jauh diatasnya.
“Justru kami ingin menyumbangkan lebih banyak ke kas daerah. Dari hasil perhitungan retribusi, kami tawarkan lebih tinggi dan dibulatkan menjadi Rp500 juta dan itu sudah disetujui oleh dinas terkait. Kalau kita bandingkan dengan nilai sewa Stadion Bima Cirebon tentunya sangat jauh diatasnya," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pembayaran dilakukan dua kali dalam setahun, masing-masing sebesar Rp250 juta.
“Untuk termin pertama, kami sudah transfer langsung ke rekening kas daerah sebagai bukti komitmen dan kepatuhan kami terhadap kerja sama ini,” imbuhnya.
Menanggapi pernyataan anggota DPRD Susanto yang menyebut kenaikan tarif sebagai pungli karena tidak sesuai Perda Nomor 1 Tahun 2024, Pebry menilai ada kesalahpahaman dalam memahami struktur kewenangan antara pengelola dan regulasi daerah. Menurutnya, pengelolaan stadion pasca kerja sama tidak lagi tunduk secara langsung pada tarif retribusi yang ditetapkan dalam Perda, melainkan mengikuti klausul-klausul perjanjian.
“Kami bukan lagi bagian dari sistem retribusi daerah sebagaimana yang diatur dalam Perda. Karena setelah dikerjasamakan, status pengelolaannya berbeda. Pengunjung stadion membayar biaya jasa layanan ke pengelola, bukan membayar retribusi kepada pemerintah,” jelasnya.
Ia juga mengaku belum menerima informasi resmi terkait Perda terbaru tersebut.
"Saya pribadi belum mendapatkan salinan Perda Nomor 1 Tahun 2024. Tapi selama tidak ada klausul dalam perjanjian yang dilanggar, kami tetap pada jalur yang sah secara hukum,” kata Pebry.
Pebry juga menyatakan kesiapan pihaknya untuk berdialog dengan DPRD atau Pemda apabila diperlukan klarifikasi lebih lanjut. Ia berharap komunikasi antara eksekutif, legislatif, dan mitra kerja sama bisa berjalan harmonis demi kepentingan masyarakat Kuningan.
“Kami terbuka untuk diskusi. Jangan sampai perbedaan pemahaman ini menimbulkan kegaduhan publik. Justru kita harus bersinergi untuk membangun daerah,” tutupnya.
(red)