Uha Juhana: Mutasi ASN Kuningan Status Quo, Birokrasi Jadi Alat Politik
KuninganSatu.com,- Penataan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam mutasi jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) sejatinya merupakan instrumen penting dalam pengelolaan manajemen ASN, dengan menjunjung tinggi kompetensi, profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas.
Namun, dalam pelaksanaannya, mutasi ASN yang merupakan dinamika manajemen kepegawaian di pemerintah daerah telah menimbulkan fenomena profesional maupun politis. Fenomena politis tersebut muncul dari upaya Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar, dalam mencoba melakukan kontrol atas birokrasi.
Mutasi perdana oleh Bupati Kuningan ini dilakukan di awal masa jabatannya, yakni tiga bulan setelah dilantik, bertepatan dengan 100 hari kerja pemerintahannya. Ia telah mengusulkan 30 orang pejabat struktural Eselon II Pemda Kuningan untuk dimutasi, sementara dua jabatan lainnya masih dikosongkan. Proses mutasi ini dinilai sarat akan kepentingan politik.
Berdasarkan draft rencana mutasi yang bocor dan telah terverifikasi kebenarannya, ditemukan beberapa komposisi jabatan strategis yang diisi tidak sesuai dengan kompetensi pejabat yang bersangkutan. Yang luar biasa, terdapat sembilan pejabat yang tidak mengalami perpindahan jabatan dan tetap dipertahankan.
“Apakah karena saking hebatnya prestasi yang bersangkutan dalam bekerja, atau karena selama ini mereka telah berhasil ‘menjilat’ Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar saja?" tanya Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, Rabu (28/5/2025).
Setidaknya, menurut Uha, terdapat tiga motivasi umum pejabat politik dalam melakukan politisasi birokrasi. Pertama adalah patronase, yakni janji politik yang diisi dan diberikan sebagai penghargaan kepada sekutu politik yang membantu saat kampanye.
Kedua adalah kebijakan berorientasi, di mana politisi mempolitisasi SKPD untuk memperoleh kontrol lebih terhadap proyek pembangunan. Ketiga adalah timbal balik berupa pertukaran kekuasaan, jabatan, materi, tenaga, dukungan, dan loyalitas.
Dalam implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah bertindak sebagai pejabat politik sekaligus administrasi. Kepala daerah yang dipilih langsung memerlukan dukungan staf administrasi profesional dan loyal guna mewujudkan janji kampanyenya.
Pegawai yang diharapkan adalah mereka yang memiliki pola pikir maju, sikap melayani, budaya produktif, dan manajemen berbasis kinerja. Namun, kenyataannya, unsur politik dan subjektivitas kerap lebih dominan dalam pengisian jabatan struktural ASN.
“Faktor like or dislike dan kedekatan personal dengan pejabat politik yang menjabat lebih menentukan,” kata Uha.
BKPSDM berperan dalam menyelenggarakan mutasi ASN di tingkat daerah, namun tetap berdasarkan arahan kepala daerah. Baperjakat, yang seharusnya memberikan pertimbangan objektif terhadap kelayakan promosi atau mutasi, dalam praktiknya tidak berdaya dan hanya berfungsi sebagai pendukung kebijakan politik Bupati.
Hal ini tercermin dari tidak adanya tindakan tegas dari Bupati terhadap pejabat yang terlibat dalam catatan WDP dari BPK pada 100 hari kerjanya.
“Ternyata semuanya aman terkendali dan tidak ada yang diberikan sanksi apa pun,” ujarnya.
Menurut Uha, sorotan terhadap mutasi ASN di Pemkab Kuningan muncul karena kebijakan tersebut tidak transparan, sarat kepentingan politik, dan terkesan dipaksakan. Ironisnya, hasil kinerja dari mutasi itu akan digunakan oleh Bupati sendiri sebagai pencapaian, sementara BKPSDM sering menjadi kambing hitam dalam prosesnya.
Politisasi jabatan struktural ASN oleh pejabat politik telah menjadikan Baperjakat mandul. Fungsi kapabilitas dalam seleksi jabatan tergantikan oleh akseptabilitas semata. Akibatnya, muncul persaingan tidak sehat di tubuh birokrasi.
Uha menegaskan bahwa pengangkatan ASN dalam jabatan struktural seharusnya dilakukan secara normatif dan sesuai aturan agar semua SKPD dapat mempercepat pencapaian visi-misi pembangunan. Keadilan dan keterbukaan dalam keputusan mutasi hanya dapat terwujud dengan tegaknya mekanisme reward and punishment, bukan berdasarkan hubungan patron-client.
Mutasi yang akan dilakukan oleh Bupati Dian Rachmat Yanuar dinilai berdampak buruk terhadap profesionalisme birokrasi di Kuningan.
“Cita-cita terciptanya sumber daya manusia aparatur pemerintahan berkualitas guna mewujudkan birokrasi yang handal hanya mimpi belaka. Bukannya berhasil membawa Kuningan Melesat seperti jargon yang selama ini dipakai, yang terjadi malah pemerintahan daerah tidak ada perubahan atau status quo,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa tanpa sistem merit yang memperhatikan kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja, mutasi ASN hanya menjadi momok menakutkan. Tak heran, menurutnya, jika berkembang joke di tengah masyarakat bahwa pemerintahan Kabupaten Kuningan saat ini “berjalan autopilot”.