BREAKING NEWS

Editorial: Angka Kemiskinan Turun, Kabar Baik Yang Bikin Gelisah?


Pemerintah pusat melakukan langkah besar yakni mencoret jutaan penerima bansos yang tak lagi memenuhi kriteria. Di Kabupaten Kuningan, sendiri sebanyak 34.804 jiwa kehilangan status “berhak dibantu.” Secara teori, ini kabar baik. Artinya, ribuan warga kita dianggap sudah tidak miskin lagi.

Tapi yang terjadi justru paradoks. Alih-alih bersorak atas capaian ini, pejabat-pejabat lokal justru seolah terlihat gelisah. Reaktif. Hampir panik.

Padahal, bukankah berkurangnya penerima bantuan adalah sinyal bahwa kemiskinan di Kuningan mulai surut? Bahwa upaya pembangunan sosial dan ekonomi mulai menunjukkan hasil?

Namun reaksi dari dua unsur pemerintahan daerah, yakni legislatif dan eksekutif, seolah menafikan logika itu. Seperti kehilangan pegangan karena tak lagi punya alasan untuk memainkan “politik penderitaan.”

Mari kita mulai dari pernyataan resmi Kepala Dinas Sosial Kuningan, Dr. H Toto Toharudin di salah satu media yang menyatakan:

“Disatu sisi, informasi pencoretan 34.804 penerima bansos ini membahagiakan karena angka kemiskinan Kuningan kalau linear hasil DTSEN akan menurun hingga 21%. Tapi di sisi lain, hal ini akan menjadi bencana sosial karena mereka yang dicoret tidak tahu posisinya sama sekali tidak masuk desil 1, desil 2 atau desil 3.”

Logikanya unik, penurunan angka kemiskinan sama dengan potensi bencana sosial. Mungkin karena makin sedikit angka miskin, maka makin sedikit juga narasi penderitaan yang bisa dijadikan bahan proposal bantuan dan “prestasi” program daerah.

Di sisi lain anggota DPRD dari Fraksi PKS, Yaya, SE, juga menyampaikan:

“Menanggapi pengumuman dari Kementerian Sosial... saya menyampaikan keprihatinan mendalam. Sebanyak 34.804 warga Kuningan terdampak penonaktifan tersebut.”

Prihatin terhadap berkurangnya warga miskin? Di negara normal, itu kalimat satire. Di sini, malah disampaikan dengan penuh kesungguhan.

Reaksi seperti ini menunjukkan bahwa kemiskinan bukan lagi sekadar data statistik. Ia telah menjelma menjadi “komoditas politik” sekaligus aset yang dipelihara, dijaga, bahkan dijual dalam lembar demi lembar anggaran.

Pernyataan lanjutan dari DPRD dan Dinsos yang menuntut verifikasi ulang, pendataan lapangan, hingga membuka layanan aduan, terdengar sangat responsif. Tapi dalam situasi ini, menjadi sangat absurd. Seolah negara panik karena rakyatnya membaik.

Padahal data DTSEN dirancang agar lebih valid, lebih real-time, dan terintegrasi. Tujuannya jelas untuk menyingkirkan manipulasi dan tumpang tindih data yang selama ini menjadi ladang subur bagi bantuan salah sasaran.

Dan memang, seperti banyak diberitakan media lokal, tak sedikit warga berduit yang masih menikmati bansos. Ada yang punya mobil, rumah dua lantai, bahkan usaha, tapi tetap terdaftar sebagai “keluarga tidak mampu.”

Tentu saja koreksi semacam ini membuat pihak-pihak tertentu tidak nyaman. Karena selama ini, mungkin, sistem yang tumpul justru menguntungkan secara politik. Ketika semua warga dianggap miskin, maka semua program bisa masuk tanpa pertanyaan.

Kita juga harus mencatat, bahwa langkah Kementerian Sosial bukan tanpa dasar. Ini merupakan tindak lanjut dari program Reformasi Perlindungan Sosial dan pembaruan data lewat DTSEN (Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional). Sumbernya bukan dukun, tapi integrasi dari sensus, pajak, BPJS, dan data kependudukan.

Sayangnya, reaksi Pemkab dan DPRD malah menunjukkan sinyal sebaliknya dimana dugaan ketidakpercayaan terhadap sistem pusat yang justru lebih transparan.

Jika benar ada warga miskin yang terlewat, tugas Pemda adalah melakukan validasi secara konkret, bukan sekadar menghembuskan narasi krisis. Tapi jika yang dicoret adalah warga mampu, ya sudah biarkan keadilan bekerja.

Mungkin kita perlu bertanya lebih dalam, apakah angka kemiskinan selama ini sengaja “dirawat” agar tetap ada? Karena tanpa warga miskin, akan sulit menjual program bantuan. Akan lebih sulit membangun citra "wakil rakyat yang peduli."

Karena jika warga terlalu sejahtera, lantas siapa yang akan berterima kasih atas bantuan-bantuan yang dijadikan baliho itu? Apakah ini sebabnya langkah Kemensos seolah ditanggapi seperti serangan, bukan solusi?

Penurunan 21% warga miskin itu, jika benar, seharusnya menjadi headline yang dibanggakan. Tapi ketika itu justru menjadi pemicu kepanikan, kita perlu melihatnya sebagai tanda tanya besar terhadap niat dan orientasi kebijakan publik daerah.

Kemiskinan adalah masalah, tapi ia juga telah dijadikan peluang. Dan seperti semua peluang politik, ia bisa menciptakan kecanduan. Semakin parah, semakin banyak “penolong” yang merasa dibutuhkan.

Ironisnya, kini ketika data berkata “lebih sedikit yang perlu ditolong,” yang muncul justru ketakutan.

Hari ini sejatinya kita tidak sedang menyelesaikan kemiskinan. Kita sedang mempertanyakan, siapa sebenarnya yang takut kemiskinan berakhir?


Catatan Redaksi

Tulisan ini merupakan opini penulis yang juga bagian dari redaksi. Kami di KuninganSatu.com percaya bahwa media harus berdiri sebagai pilar keempat demokrasi, yang mengkritisi kekuasaan, mengawal kebijakan publik, dan memastikan keadilan berjalan untuk rakyat, bukan untuk citra politik.

Kami mendukung upaya reformasi data dan perbaikan sistem bansos yang adil dan tepat sasaran. Jika ada warga yang benar-benar miskin namun tercoret, maka menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk membuktikan dengan data, bukan dengan wacana.

Dan jika yang tercoret adalah mereka yang seharusnya tidak layak, maka itulah keadilan yang sesungguhnya.

Ditulis oleh: Imam Royani
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar