BREAKING NEWS

Mutasi Amatir Bupati Kuningan, Uha: DPRD Bisa Interpelasi!


Cijoho, KuninganSatu.com - Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, kembali melontarkan kritik keras terhadap proses rotasi dan mutasi jabatan struktural di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kuningan yang berjalan lamban namun kini justru terkesan dipaksakan.


Berdasarkan draft mutasi yang bocor ke publik, ia secara khusus menyoroti rencana pengisian posisi Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) oleh Kepala Bappenda saat ini, Guruh Irawan Zulkarnaen, S.STP., M.Si yang belum memenuhi syarat formil, yakni belum memiliki Sertifikat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang juga diduga menjadi penghalang proses mutasi yang akan dilaksanakan.


“Kalau tetap dipaksakan, ini bukan hanya maladministrasi, tapi juga berpotensi menciptakan kekosongan fungsi negara secara de facto. Ada jabatan, tapi tidak ada kewenangan. Ini jelas sangat berbahaya,” ujar Uha dalam keterangan lanjutan kepada KuninganSatu.com, Rabu (11/6/2025).


Menurut Uha, Sertifikat PPNS bukan sekadar atribut administratif, melainkan persyaratan esensial yang melekat pada fungsi yuridis Satpol PP sebagai penegak Peraturan Daerah (Perda). Dalam Pasal 16 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satpol PP ditegaskan, Kepala Satpol PP wajib merupakan PPNS.


“Artinya, bila syarat ini tidak terpenuhi, maka segala tindakan yang dilakukan oleh pejabat tersebut berpotensi cacat hukum. Operasi penegakan Perda, tindakan penyegelan, bahkan penerbitan surat peringatan bisa digugat karena dasar kewenangannya tidak sah,” jelasnya.


Lebih jauh, Uha menjelaskan bahwa untuk memperoleh Sertifikat PPNS, seorang ASN harus terlebih dahulu mengikuti Pendidikan dan Pelatihan yang diselenggarakan oleh BPSDM (Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Kementerian Dalam Negeri atau lembaga resmi lainnya, dengan durasi minimal 3 bulan penuh, disertai ujian kompetensi. Setelah itu, calon pejabat juga harus mengikuti pelatihan tambahan Manajemen Satpol PP selama 2 minggu, yang juga merupakan ketentuan standar nasional.


“Jadi kalau hari ini dilantik, lalu besok mulai bertugas, itu secara logika administratif saja sudah tidak masuk akal. Lalu siapa yang akan menandatangani berita acara penegakan perda? Bagaimana proses hukum dapat dijalankan jika dasar otoritasnya tidak sah?” kata Uha retoris.


Ia bahkan menyebut bahwa jika mutasi tetap dilakukan dalam kondisi seperti itu, maka jabatan Kepala Satpol PP yang baru hanya akan menjadi “jabatan simbolik tanpa legitimasi operasional”.


Uha memperingatkan bahwa hal ini bukan sekadar persoalan prosedural, melainkan juga berimplikasi pada akuntabilitas anggaran, efektivitas birokrasi, dan bahkan potensi temuan hukum dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).


“Bisa-bisa belanja kegiatan Satpol PP yang ditandatangani pejabat tak sah malah dianggap kerugian negara. Ini bukan asumsi, ini sudah pernah terjadi di daerah lain. Ada preseden hukumnya. Jangan sampai Kuningan menambah daftar itu,” tegasnya.


Tak hanya itu, Uha juga mempertanyakan urgensi dan motif di balik pemaksaan pengisian jabatan ini. Ia khawatir, ada kepentingan personal atau politik tertentu yang mendesak agar mutasi segera dilakukan, meski melanggar norma dan akal sehat birokrasi.


“Kita harus berani bertanya kenapa harus dipaksakan sekarang? Dan kenapa proses ini seolah disembunyikan tapi draftnya justru bocor ke publik? Ini semua mengindikasikan ada yang tidak sehat dalam manajemen pemerintahan kita,” tanya Uha.


Uha juga kembali memperingatkan bahwa jika mutasi jabatan tersebut tetap dipaksakan meskipun jelas-jelas melanggar regulasi, maka bukan hanya soal administrasi yang dipertaruhkan, melainkan juga konsekuensi politik terhadap Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar.


"Jangan anggap sepele. Ini sudah masuk kategori pelanggaran norma hukum administrasi pemerintahan, dan DPRD punya hak konstitusional untuk menggunakan instrumen interpelasi bila kepala daerah dianggap mengambil kebijakan strategis yang melanggar aturan dan merugikan kepentingan publik," tegas Uha.


Menurutnya, interpelasi bukan sekadar ancaman formalitas, melainkan hak politik DPRD yang sah untuk meminta penjelasan resmi dari Bupati atas kebijakan yang diambil, termasuk jika dalam proses mutasi ditemukan adanya penyalahgunaan wewenang atau indikasi kepentingan tertentu di balik keputusan tersebut.


“Kalau ini terus dipaksakan, DPRD wajib turun tangan. Jangan sampai DPRD malah diam membisu. Interpelasi itu alat kontrol politik yang dijamin undang-undang. Kalau Bupati mulai berani melangkahi aturan dan mengabaikan norma birokrasi, DPRD harus bersikap. Jangan takut,” ujar Uha.


Ia menambahkan, interpelasi bisa menjadi jalan masuk untuk membongkar motif dan kepentingan di balik kebijakan mutasi tersebut. Termasuk, jika ada dugaan transaksi politik atau kompromi jabatan demi kepentingan segelintir pihak.


“Kalau benar ada kepentingan politik, lebih baik dibuka saja sekalian di forum interpelasi. Jangan sampai publik terus dibohongi dengan alasan rotasi demi penyegaran, padahal isinya cuma bagi-bagi kursi. Kita butuh keberanian DPRD untuk bicara, bukan hanya jadi stempel kebijakan eksekutif,” kata Uha menegaskan.


Sebagai penutup, Uha juga meminta Bupati Dian Rachmat Yanuar untuk mengambil sikap tegas dan bijaksana, bukan sekadar melantik demi pencitraan atau menyenangkan pihak tertentu. Ia menyarankan agar proses mutasi ditunda hingga seluruh syarat dan ketentuan hukum terpenuhi, atau mencari kandidat alternatif yang telah siap secara administrasi dan kompetensi.


“Mutasi itu instrumen strategis untuk memperkuat birokrasi, bukan alat transaksi politik. Kalau mutasi dilakukan secara ugal-ugalan, maka yang hancur bukan cuma satu dinas, tapi kredibilitas pemerintahan secara keseluruhan, dan ini jelas 'Memalukan Pelatih'," tutupnya dengan nada satir.


(red)

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar