Hasil Open Bidding Sekda Resmi Dibatalkan, Uha: Aroma Politis Dibalik Langkah 'Aneh' Bupati Kuningan
Cijoho, KuninganSatu.com - Keputusan Bupati Kuningan, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, membatalkan hasil seleksi terbuka (open bidding) jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) secara resmi melalui surat ke Kementerian Dalam Negeri, menimbulkan gelombang kecurigaan. Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, menduga kuat kebijakan ini sarat kepentingan politik pasca Pilkada, apalagi dilakukan tanpa penjelasan publik, padahal hasil seleksi itu telah mendapatkan persetujuan dari BKN dan Kemendagri.
Yang lebih menyakitkan, proses seleksi tersebut telah menghabiskan anggaran daerah senilai Rp 400 juta. Namun semuanya menguap begitu saja, dibatalkan tanpa alasan yang logis dan transparan. Uha menyebut ini bukan hanya pemborosan uang rakyat, tetapi juga penghinaan terhadap akal sehat birokrasi.
"Proses seleksi sudah dilakukan sesuai prosedur, anggaran ratusan juta dikucurkan, hasilnya keluar, dan malah dibatalkan. Kalau bukan karena kepentingan politik, lalu apa? Jangan-jangan sejak awal open bidding ini cuma formalitas untuk memenuhi syarat administratif, tapi nama Sekda sebenarnya sudah dikantongi dari awal," sentil Uha dengan nada keras, Selasa (10/6/2025).
Menurut Uha, aroma politis kian tercium karena pembatalan ini terjadi setelah Pilkada selesai dan Bupati terpilih resmi menjabat. Sejak ditinggal Dr. Dian yang naik kursi Bupati, posisi Sekda dibiarkan kosong terlalu lama. Justru ketika hasil seleksi sudah di depan mata, kebijakan diambil mundur, bukan ke depan. Uha menilai ini langkah mundur yang mencerminkan ada tarik-menarik kekuasaan di balik layar birokrasi.
"Kami melihat ini sebagai bentuk kompromi politik. Mungkin ada nama-nama yang tidak sesuai dengan selera politik Bupati, atau ada tekanan dari kelompok tertentu. Tapi mengorbankan jabatan strategis seperti Sekda hanya demi akomodasi politik? Itu sangat berbahaya," tegas Uha.
Apalagi status Sekda saat ini makin absurd. Penjabat Sekda, Beni Prihayatno, masa jabatannya telah berakhir 9 Mei 2025. Namun ia justru diangkat kembali sebagai Pelaksana Harian (Plh), padahal secara aturan, Plh hanya sah jika jabatan definitifnya masih ada. Dalam kasus ini, Sekda definitif justru kosong, artinya penunjukan Plh Sekda itu cacat secara hukum dan etika pemerintahan.
"Ini memperlihatkan bagaimana tata kelola pemerintahan di Kuningan berjalan tanpa arah. Pejabat ditunjuk semaunya, aturan dilanggar seenaknya. Ini bukan hanya masalah administrasi, ini cermin kekacauan birokrasi yang dikuasai logika kekuasaan, bukan logika pemerintahan," katanya.
Lebih lanjut, Uha menyoroti dampak kekosongan Sekda terhadap jalannya roda pemerintahan. Banyak jabatan eselon II, III, dan IV juga belum terisi. Pengambilan keputusan strategis, termasuk pembahasan APBD 2025, sangat terganggu. Dalam situasi seperti ini, Bupati seharusnya menunjukkan ketegasan sebagai kepala daerah, bukan malah membuat kebijakan yang memelihara kevakuman.
"Kekuasaan pasca Pilkada seharusnya digunakan untuk memperkuat sistem, bukan untuk bagi-bagi kursi. Tapi sekarang justru sistem dilemahkan karena Bupati terlihat gamang mengambil sikap. Terlalu banyak pertimbangan politik, terlalu sedikit keberanian mengambil keputusan," ujarnya.
Uha juga mengingatkan bahwa Perpres Nomor 3 Tahun 2018 dan Surat Edaran KASN Nomor 2 Tahun 2024 mewajibkan pengisian jabatan pimpinan tinggi yang kosong agar tidak mengganggu pelayanan publik dan efektivitas pemerintahan. Namun di Kuningan, aturan seperti hanya jadi pajangan, tak dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan.
"Kita patut bertanya, siapa sebenarnya yang memimpin Kuningan hari ini? Apakah Bupati benar-benar memegang kendali, atau justru menjadi tawanan dari kekuatan politik pasca Pilkada yang ingin mengatur komposisi birokrasi sesuai kepentingan mereka?" sindirnya.
Menurut Uha, pembatalan hasil open bidding ini sudah menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan di Kuningan. Selain merugikan keuangan negara, juga merusak kepercayaan publik terhadap profesionalisme birokrasi. Karena itu, Uha menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawasi dan membuka segala kemungkinan penyelewengan di balik kebijakan yang ganjil ini.
"Kalau benar ini semua karena politik balas budi, maka itu bukan hanya pengkhianatan terhadap aturan, tapi juga terhadap rakyat yang sudah memberikan mandat. Kita tidak akan diam," tutup Uha.
(red)