BREAKING NEWS

Semar, Kalijaga, dan Ismail dalam Diri Kita


Oleh: Mang Kaeling

Yang Datang Serba Hitam

Dalam perayaan Idul Adha, umat Islam di seluruh dunia menapaktilasi peristiwa besar dimana Nabi Ibrahim AS yang rela mengorbankan anaknya, Ismail AS, atas perintah Allah SWT. Peristiwa itu bukan semata tentang pengorbanan lahiriah, melainkan tentang peristiwa batin dimana dialog antara kehendak diri dan kehendak Tuhan, antara rasa memiliki dan keharusan melepaskan.


Namun dalam konteks ke-Indonesiaan, khususnya spiritualitas Jawa, kisah pengorbanan ini menemukan gema filosofisnya yang unik. Dua tokoh agung menjadi cermin perenungan, Sunan Kalijaga, sang wali pembaharu, dan Semar, tokoh punakawan yang bukan hanya lucu, tapi juga mistik dan sarat makna. Melalui mereka, kita diajak menyelami Idul Adha sebagai laku batin, bukan sekadar ritual lahir.


Sunan Kalijaga dan Laku Rasa

Sunan Kalijaga adalah arsitek spiritual yang menjahit langit Islam dengan bumi budaya Jawa. Ia tidak menghancurkan warisan leluhur, melainkan mengislamkannya secara halus dan bukan melalui perang, tetapi melalui rasa, simbol, dan kesabaran. Di tangan Kalijaga, wayang menjadi medan tauhid, tembang macapat menjadi puji-pujian, dan suluk menjadi jalan sunyi menuju Tuhan.

Dalam suluknya, Kalijaga menekankan bahwa kurbannya orang beriman bukan hanya kambing dan sapi, tapi dirinya sendiri. Bukan fisik, tetapi ego. Ia berkata, “Sembelihlah hewan dalam dirimu. Itulah nafsu, itulah kemelekatan, itulah keakuan.”

Kalijaga memandang bahwa dalam setiap manusia ada “Ismail” yang harus disembelih. Ismail bukan sekadar anak biologis, tapi representasi dari sesuatu yang sangat dicintai yakni harta, kuasa, nama baik, bahkan rasa memiliki. Dan seperti Ibrahim, kita semua diperintah untuk menyerahkan itu di hadapan Tuhan.


Semar: Bayang-bayang Tuhan dalam Rupa Jelata

Semar bukan tokoh biasa. Ia adalah hyang dalam rupa rakyat jelata. Dalam tafsir spiritual Jawa, Semar adalah manifestasi dari yang ilahi dalam bentuk paling sederhana. Ia tidak tampan, tidak sakti dalam cara ksatria, tapi ucapannya penuh kebijaksanaan. Ia bukan penguasa, tapi justru pelayan dari para bangsawan wayang.

Dalam konteks Idul Adha, Semar adalah simbol dari kurban yang tersembunyi. Ia tidak pernah mengeluh, tidak pernah menuntut, tapi terus memberi. Ia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Semar adalah lambang dari hati yang telah pasrah, ikhlas, dan tak lagi terikat pada dunia.

Semar juga mengajarkan bahwa spiritualitas sejati itu diam. Tidak pamer, tidak gaduh. Sama seperti firman Allah dalam Al-Qur’an:

“Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

(QS. Al-An’am: 162)


Menyembelih Ego: Kurban yang Hakiki

Dalam dunia modern yang penuh pencitraan, kurban sering kali direduksi menjadi tontonan tentang siapa menyembelih paling banyak, siapa paling dermawan. Tapi dalam tafsir Kalijaga dan Semar, kurban sejati adalah menyembelih ego.

Ego adalah akar dari segala keterpisahan antara manusia dari Tuhan, manusia dari manusia, bahkan manusia dari dirinya sendiri. Ketika Ibrahim siap menyembelih Ismail, ia sebenarnya sedang menyembelih keakuannya, rasa memiliki terhadap sesuatu yang bukan hak mutlaknya. Inilah esensi tauhid.

Sunan Kalijaga meyakini bahwa manusia hanya bisa dekat dengan Tuhan ketika dirinya telah hancur sebagai “diri”. Dalam terminologi sufistik fana’, lenyapnya ego dalam samudera keesaan.

Semar, yang tak memiliki ambisi dunia, adalah pengejawantahan dari manusia yang telah fana itu. Ia tidak menolak peran, tapi juga tidak menggenggamnya. Ia hadir, tapi tidak menuntut. Itulah kurban dalam bentuk tertinggi.


Iduladha sebagai Cermin Batin

Dalam cahaya Kalijaga dan bayang Semar, Idul Adha bukanlah soal darah dan daging, melainkan soal hati yang rela ditelanjangi. Ia adalah saat paling tepat untuk menguji tentang sudah sejauh mana kita bersedia melepaskan?

Kita bisa menyembelih seratus sapi, tetapi jika tidak menyentuh rasa dan kesadaran, itu hanya menjadi ritus. Tapi jika kita berhasil menyembelih satu ego kecil, kesombongan, dendam, rasa ingin dilihat, maka itu adalah kurban besar dalam pandangan langit.


Penutup: Menyatukan Langit dan Bumi

Dalam ajaran Sunan Kalijaga dan filsafat Semar, kita diajak untuk menyatukan langit dan bumi, menyatukan tauhid dan budaya, menyatukan syariat dan rasa. Idul Adha adalah panggilan untuk kembali ke asal, kepada Tuhan, melalui hati yang bersih dan ikhlas.

Mari kita jadikan Idul Adha bukan hanya sebagai momen sosial atau kewajiban agama, tetapi sebagai ritus penyembelihan batin, laku sunyi menyucikan diri. Karena kurban paling suci adalah ketika kita mampu berkata:


“Ya Allah, aku serahkan semua padamu. Aku sembelih keakuanku, demi kembali kepada-Mu.”

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar