Kuningan Satu

Kuningan Satu

  • Business
  • _Strategy
  • _Economy
  • _Finance
  • _Retail
  • _Advertising
  • _Careers
  • _Media
  • _Real Estate
  • _Small Business
  • _The Better Work Project
  • _Personal Finance
  • Tech
  • _Science
  • _AI
  • _Enterprise
  • _Transportation
  • _Startups
  • _Innovation
  • Markets
  • _Stocks
  • _Indices
  • _Commodities
  • _Crypto
  • _Currencies
  • _ETFs
  • Lifestyle
  • _Entertainment
  • _Culture
  • _Travel
  • _Food
  • _Health
  • _Parenting
  • Politics
  • _Military & Defense
  • _Law
  • _Education
  • Reviews
  • _Tech
  • _Streaming
  • _Tickets
  • _Kitchen
  • _Style
  • _Beauty
  • _Gifts
  • _Deals
  • Video
  • _Big Business
  • _Food Wars
  • _So Expensive
  • _Still Standing
  • _Boot Camp
  • Beranda
  • BPJS
  • Hak Dasar
  • Kebijakan Publik
  • Kesehatan
  • Ketimpangan Sosial
  • Komersialisasi
  • Neoliberalisme
  • Opini & Tajuk Redaksi
  • Opini Kritis
  • Pendidikan
  • UKT

Editorial: Ketika Pendidikan dan Kesehatan Menjadi Barang Dagangan, Rakyat Dipaksa Membeli Haknya Sendiri

Oleh Redaksi
Juli 27, 2025

Gambar: ilustrasi

Neoliberalisme Masuk dari Pintu Kebijakan

Konstitusi Republik Indonesia dengan tegas menjamin bahwa pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar warga negara. Pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, sementara Pasal 28H ayat (1) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan pelayanan kesehatan.” Namun, dalam praktiknya, hak-hak ini telah digeser dari ruang publik ke ruang pasar.

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia mengalami transformasi kebijakan yang secara sistemik menggeser tanggung jawab negara ke tangan swasta. Penerapan ideologi neoliberalisme, yang didorong oleh lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia sejak krisis 1998, menuntut Indonesia untuk merampingkan peran negara dan membuka ruang pasar seluas-luasnya dalam pengelolaan sektor publik. Dalam narasi globalisasi, pendidikan dan kesehatan pun dikemas sebagai “investasi”, bukan kewajiban negara.

Berbagai undang-undang sektoral kemudian memberi legitimasi pada pergeseran ini. Misalnya, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang pada Pasal 46 mengatur bahwa pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan peserta didik. Ini membuka ruang luas bagi pungutan-pungutan mahal atas nama “biaya bersama”. Di sektor kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mendorong rumah sakit menjadi “badan usaha” yang profesional dan efisien, membuka ruang bagi prinsip profit.

Masalahnya, prinsip efisiensi dalam logika pasar berarti layanan disesuaikan dengan kemampuan bayar. Pendidikan dan kesehatan tidak lagi dipandang sebagai kewajiban negara, melainkan sebagai jasa yang harus dibeli. Dalam situasi ini, warga miskin kehilangan akses terhadap layanan dasar yang seharusnya dilindungi undang-undang. Hak berubah menjadi produk. Konstitusi tak lagi berfungsi sebagai tameng rakyat, melainkan sebagai simbol yang terus dikhianati.


Pendidikan, Pabrik Gelar dan Anak Tiri Demokrasi

Kini, pendidikan tinggi di Indonesia menjelma menjadi pabrik gelar. Kampus-kampus berlomba menjadi “korporasi pendidikan” dengan beragam lini bisnis. Mereka membuka kelas internasional berbayar tinggi, menjual program kerja sama luar negeri, bahkan membentuk anak usaha untuk meraup pendapatan non-akademik. Imbasnya, pendidikan tak lagi diposisikan sebagai proses pemanusiaan, tapi investasi elit untuk kelas atas.

Mahasiswa perlahan diposisikan sebagai konsumen, bukan peserta didik. Sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang awalnya bertujuan menjamin keadilan sosial, justru menjadi alat pungutan tak transparan. Mahasiswa dari keluarga petani atau buruh sering kali dikenai UKT tinggi, sementara transparansi penentuan kategori UKT sangat lemah. Hal ini menambah jurang ketimpangan akses pendidikan antara si kaya dan si miskin.

Kejadian tragis seperti yang dialami seorang mahasiswa baru UGM pada 2023 menjadi bukti nyata. Ia mengundurkan diri karena tak mampu membayar UKT sebesar Rp 9 juta per semester. Sementara itu, di sekolah-sekolah dasar hingga menengah, sistem zonasi malah menciptakan sekolah “negeri rasa swasta”, karena banyak sekolah “favorit” yang dipenuhi siswa dari keluarga berpunya lewat jalur-jalur khusus yang sulit dijangkau anak dari kampung.

Pendidikan mestinya menjadi alat mobilitas sosial, tapi kini justru menjadi penjaga status quo. Yang miskin tetap terpinggirkan. Yang kaya punya akses penuh pada fasilitas pendidikan terbaik. Demokrasi pendidikan telah gagal diwujudkan karena sistemnya telah digerogoti oleh logika komersial. Dan negara, alih-alih hadir membenahi, justru menjadi fasilitator pasar dalam menghancurkan idealisme pendidikan.


Kesehatan, Dari Hak Asasi Menjadi Layanan Premium

Sektor kesehatan pun mengalami nasib serupa. Rumah sakit, apotek, hingga layanan laboratorium kini tidak lagi fokus pada pemulihan pasien, tapi pada perputaran uang. Rumah sakit swasta yang mewah menjamur, dengan harga layanan yang hanya mampu dijangkau oleh kalangan elite. Sementara rumah sakit negeri penuh antrean dan minim fasilitas, terlebih jika pasien menggunakan BPJS.

Pasien kini dibebani dengan berbagai biaya tambahan, bahkan untuk layanan darurat. Pada 2023, sebuah kasus mencuat dari Jakarta di mana pasien gawat darurat di rumah sakit swasta ditolak karena tidak bisa memberikan jaminan pembayaran awal. Di sisi lain, pasien BPJS kerap menjadi korban sistem rujukan yang berbelit dan keterlambatan penanganan, seperti kasus bayi di Lamongan yang meninggal karena tak segera mendapat tindakan medis.

Tak hanya itu, industri farmasi dan alat kesehatan juga sarat praktik bisnis eksploitatif. Obat generik sering dikalahkan oleh promosi obat bermerek yang lebih mahal, meski dengan kandungan yang sama. Banyak dokter diduga mendapat insentif dari perusahaan farmasi jika meresepkan merek tertentu. Alih-alih menyembuhkan, sistem ini justru memaksimalkan keuntungan dari ketidakberdayaan pasien.

Ketika dokter menjadi salesman, rumah sakit menjadi mall, dan pasien menjadi konsumen maka di situlah kesehatan kehilangan jiwanya. Hak atas layanan kesehatan berubah menjadi barang dagangan. Negara yang seharusnya menjamin kesetaraan akses justru membuka pintu selebar-lebarnya bagi korporasi untuk mengambil alih peran itu. Dalam logika ini, yang tak mampu membayar, tak layak disembuhkan.


Rakyat Dipaksa Membeli Haknya Sendiri

Pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar, namun kini menjadi beban finansial terbesar bagi rakyat miskin. Anak-anak desa dipaksa bermimpi kecil karena tahu ayah ibunya tak sanggup membayar uang pangkal atau UKT. Warga kota takut jatuh sakit karena tahu rumah sakit butuh uang muka sebelum perawatan. Ironisnya, semua ini dianggap “normal” oleh sistem.

Fakta bahwa rakyat harus membayar mahal untuk sesuatu yang semestinya gratis adalah kegagalan negara dalam menjalankan mandat konstitusi. Kita bukan kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan keberpihakan. Anggaran pendidikan dan kesehatan sebagian besar justru diserap ke sektor yang salah seperti birokrasi, proyek infrastruktur, dan subsidi korporasi.

Bahkan skema bantuan seperti KIP dan BPJS masih penuh masalah. KIP hanya menjangkau sebagian kecil siswa miskin, dan BPJS sering tak menanggung seluruh kebutuhan pengobatan. Masyarakat akhirnya tetap harus menutup kekurangan biaya dari kantong sendiri. Di sinilah rakyat dipaksa membeli kembali haknya yang telah dirampas oleh sistem.

Jika negara terus menjadi penonton dan pasar terus menjadi pengendali, maka yang akan kita wariskan ke generasi mendatang adalah bangsa tanpa masa depan. Bangsa di mana ilmu dan kesehatan hanya menjadi milik mereka yang mampu membayar, bukan mereka yang ingin belajar dan hidup layak. Dan itu adalah bentuk baru dari penindasan.


Saatnya Mengembalikan Fungsi Negara

Kita harus menyadari bahwa pendidikan dan kesehatan tak boleh dikendalikan oleh logika pasar. Negara harus mengambil kembali perannya sebagai pelindung hak dasar rakyat. Ini tidak berarti menutup ruang bagi swasta, tetapi memastikan bahwa pelayanan publik tidak tunduk pada hukum keuntungan.

Sistem pendidikan harus dibebaskan dari jeratan uang pangkal, pungutan liar, dan komersialisasi gelar. Negara harus membangun sekolah dan universitas negeri yang gratis dan bermutu. Demikian pula dengan sistem kesehatan yang harus ada rumah sakit publik yang mampu bersaing dari sisi kualitas dan layanan, tanpa diskriminasi terhadap pasien miskin.

Lebih penting dari itu adalah perubahan paradigma dari melihat rakyat sebagai beban menjadi melihat rakyat sebagai tanggung jawab negara. Pendidikan dan kesehatan bukanlah barang konsumsi, tetapi modal sosial jangka panjang yang menentukan masa depan bangsa. Negara yang gagal menjamin keduanya, pada dasarnya sedang menggali lubang kehancurannya sendiri.

Jika rakyat tetap diam, maka sistem ini akan terus berjalan dan menindas secara halus tapi mematikan. Namun jika kita bersuara, membangun kesadaran kolektif, dan menuntut perubahan, maka mungkin masih ada harapan. Karena pada akhirnya, bangsa besar adalah bangsa yang menjaga harga diri warganya dan bukan menjualnya kepada pasar.


Ditulis oleh: Redaksi KuninganSatu


Tags:
  • BPJS
  • Hak Dasar
  • Kebijakan Publik
  • Kesehatan
  • Ketimpangan Sosial
  • Komersialisasi
  • Neoliberalisme
  • Opini & Tajuk Redaksi
  • Opini Kritis
  • Pendidikan
  • UKT
Bagikan:
Baca juga
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Berita terkait
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Berita terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Tampilkan lebih banyak
Posting Komentar
Batal
Most popular
  • Skandal Guru dan Siswi, Alumni: Mencoreng Nama Baik Sekolah!

    Juli 29, 2025
    Skandal Guru dan Siswi, Alumni: Mencoreng Nama Baik Sekolah!
  • Heboh Dugaan Asusila Guru SMAN 3 Kuningan, Kepsek: Sekolah Tetap Kondusif!

    Juli 29, 2025
    Heboh Dugaan Asusila Guru SMAN 3 Kuningan, Kepsek: Sekolah Tetap Kondusif!
  • 1.860 Pelaku Bisnis WiFi Ilegal di Kuningan, Uha: Polres Tutup Mata Atau Main Mata?

    Agustus 03, 2025
    1.860 Pelaku Bisnis WiFi Ilegal di Kuningan, Uha: Polres Tutup Mata Atau Main Mata?
  • Kasus Korupsi PJU Kuningan Caang 117 Miliar, Uha: Kajari Ditunggu Pengumuman Tersangka

    Juli 28, 2025
    Kasus Korupsi PJU Kuningan Caang 117 Miliar, Uha: Kajari Ditunggu Pengumuman Tersangka
  • Omzet Puluhan Juta Tapi Selalu Was-was, Pengusaha RT RW Net Kuningan Ungkap Realita Pahit

    Agustus 03, 2025
    Omzet Puluhan Juta Tapi Selalu Was-was, Pengusaha RT RW Net Kuningan Ungkap Realita Pahit
Gila Temax
PT. SADAYA MEDIA UTAMA
  • Tentang Perusahaan
  • Karir
  • Beriklan Bersama Kami
  • Hubungi Kami
REDAKSI
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
KATEGORI BERITA
  • Pemerintahan
  • Politik & DPRD
  • Hukum & Kriminalitas
  • Ekonomi & UMKM
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Lingkungan
  • Infrastruktur & Pembangunan
  • Sosial & Kemasyarakatan
  • Kebudayaan & Tradisi
  • Pariwisata & Potensi Daerah
  • Pemuda & Pendidikan Karakter
  • Olahraga & Prestasi Daerah
  • Agama & Moderasi Beragama
  • Teknologi & Inovasi Lokal
  • Figur & Tokoh Kuningan
  • Opini & Tajuk Redaksi
PRODUK
  • Trading
  • Website Development
  • Software
  • Network Engineer
Copyright © 2025 Kuningan Satu from PT. SADAYA MEDIA UTAMA. All rights reserved.
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo