
Oleh: Redaksi
Hari Buruh Internasional, atau dikenal sebagai May Day, bukan sekadar tanggal merah di kalender. Ia adalah momentum perjuangan sejarah, simbol perlawanan terhadap ketimpangan, dan refleksi akan kondisi nyata dunia kerja. Di Kabupaten Kuningan, hari ini seharusnya menjadi titik balik untuk merenungkan nasib para buruh yang menjadi penggerak utama ekonomi daerah, namun kerap terabaikan dalam prioritas pembangunan.
Meski Kuningan bukan wilayah industri besar, peran pekerja sangat vital dalam berbagai sektor dari buruh tani di Cigugur, pekerja pabrik konveksi di Cidahu, hingga karyawan toko di pusat kota. Mereka bekerja dalam diam, kadang tanpa kontrak, tanpa jaminan kesehatan, tanpa suara.
Di banyak tempat, buruh masih diposisikan sebagai subordinat. Mereka dianggap pelengkap sistem ekonomi, bukan mitra pembangunan. Hubungan kerja sering tidak setara. Bahkan hak-hak dasar, seperti waktu kerja yang manusiawi, cuti, atau lingkungan kerja yang aman, masih menjadi barang mewah.
UMK Kabupaten Kuningan tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp2.180.000. Namun angka itu, bagi sebagian besar pekerja, hanya tinggal hitungan di atas kertas. Banyak perusahaan atau rumah produksi di sektor informal membayar pekerjanya jauh di bawah UMK, bahkan tanpa slip gaji atau struktur upah yang jelas.
Lebih parah lagi, buruh tidak memiliki posisi tawar untuk menuntut. Ketakutan akan pemutusan hubungan kerja sepihak membuat banyak dari mereka memilih diam. Ketiadaan pengawasan ketenagakerjaan yang intensif menambah panjang daftar pelanggaran yang tak pernah disanksi.
Model kerja outsourcing dan sistem kontrak jangka pendek telah meluas hingga ke sektor-sektor seperti tenaga kebersihan, keamanan, hingga operator pabrik. Sistem ini kerap dijadikan jalan pintas oleh pengusaha untuk menghindari kewajiban jangka panjang terhadap pekerja.
Di Kuningan, banyak pekerja yang menghabiskan bertahun-tahun sebagai tenaga kontrak, tanpa kepastian status kepegawaian. Tidak sedikit dari mereka yang telah mengabdi lebih dari lima tahun, namun tetap tidak memiliki jaminan hari tua, tunjangan, atau karier yang jelas.
Ini menciptakan generasi buruh tanpa masa depan yang bekerja keras, namun tak bisa menabung, apalagi bermimpi.
Tingginya angka lulusan SMK dan perguruan tinggi lokal tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai. Setiap tahun, ribuan anak muda Kuningan masuk ke pasar kerja, namun hanya sebagian kecil yang terserap.
Sebagian memilih merantau ke kota besar atau luar negeri. Yang tertinggal, kadang memilih pekerjaan serabutan dengan upah tak pasti. BLK (Balai Latihan Kerja) daerah seharusnya menjadi harapan, namun masih belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara merata dan belum selalu responsif terhadap perkembangan dunia digital dan industri kreatif.
Perempuan di dunia kerja menghadapi tantangan ganda yakni beban kerja produktif dan domestik, ditambah lagi perlindungan yang minim. Banyak dari mereka bekerja sebagai buruh tani, buruh pabrik, atau pramuniaga, namun tak punya akses pada cuti haid, fasilitas laktasi, atau ruang aman dari pelecehan.
Lebih memprihatinkan lagi, masih banyak tenaga kerja perempuan yang tak terdaftar secara resmi. Status mereka sebagai pekerja informal membuat mereka nyaris tak tersentuh oleh perlindungan ketenagakerjaan, termasuk jaminan kesehatan dan jaminan hari tua dari BPJS Ketenagakerjaan.
Kurangnya literasi hukum ketenagakerjaan menjadi persoalan serius di kalangan buruh Kuningan. Banyak pekerja tidak tahu ke mana harus mengadu saat hak mereka dilanggar. Layanan pengaduan online atau offline yang tersedia di Dinas Tenaga Kerja belum sepenuhnya dikenal dan diakses secara luas.
Serikat buruh pun belum tumbuh subur. Di Kuningan, hanya sebagian kecil sektor formal yang memiliki perwakilan serikat pekerja yang aktif. Padahal, serikat adalah jembatan penting untuk menyuarakan aspirasi, menuntut perbaikan, dan mendorong dialog sosial yang sehat.
Kita juga tak bisa menutup mata pada tantangan global yang mulai merambah daerah, termasuk otomatisasi pekerjaan, digitalisasi, dan dampak krisis iklim. Beberapa lini pekerjaan tradisional terancam tergantikan oleh mesin atau sistem digital. Sementara sektor pertanian, andalan Kuningan, mulai terdampak perubahan pola musim dan ketersediaan air.
Apakah pekerja kita siap menghadapi perubahan ini? Sayangnya, belum ada peta jalan (roadmap) ketenagakerjaan di Kuningan yang mengarah ke pembangunan tenaga kerja adaptif, berkelanjutan, dan berdaya saing.
Hari Buruh tidak seharusnya berhenti pada seremoni tahunan, karangan bunga, dan pidato normatif. Ia harus menjadi momentum pengambilan sikap politik dan sosial, bahwa pekerja adalah inti dari pembangunan daerah, bukan hanya alat produksi.
Pemerintah daerah harus menunjukkan keberpihakan nyata yang memperkuat pengawasan tenaga kerja, mendukung organisasi buruh, menyediakan pelatihan gratis yang relevan, serta mendorong perusahaan agar memberikan kerja layak dengan sistem pengupahan dan jaminan yang adil.
Pengusaha juga harus mengubah paradigma. Investasi pada kesejahteraan pekerja bukanlah beban, melainkan fondasi produktivitas jangka panjang.
Dan kita, masyarakat sipil, harus terus bersuara. Karena ketika buruh diperlakukan dengan adil, maka wajah daerah akan bersinar. Ketika pekerjaan memberi kepastian, maka masa depan akan terasa lebih manusiawi.
Kuningan bisa berubah. Tapi perubahan itu hanya mungkin, jika kita semua bersedia berpihak pada mereka yang selama ini diam dalam keringat.
SELAMAT HARI BURUH INTERNASIONAL
1 Mei 2025
Buruh Kuat, Negara Bermartabat