Editorial: Membongkar Anomali Rp639,8 Miliar dalam APBD Kuningan
Dalam dunia pengelolaan keuangan publik, kepercayaan adalah modal paling mahal. Kepercayaan itu tumbuh dari kepatuhan terhadap regulasi, keterbukaan dalam laporan, serta integritas dalam setiap pengambilan keputusan. Sayangnya, prinsip-prinsip itu kembali diuji di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Dalam kurun waktu hanya lima hari, ditemukan perubahan drastis angka realisasi pendapatan daerah senilai Rp639,8 miliar dalam data resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Perubahan angka yang fantastis itu terjadi tanpa jejak prosedur resmi, tanpa berita acara perubahan, tanpa revisi Peraturan Kepala Daerah (Perkada) sebagaimana diamanatkan regulasi keuangan daerah, dan tanpa pemberitahuan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kondisi ini bukan sekadar anomali data, melainkan indikasi serius dari buruknya tata kelola keuangan daerah.
Fakta yang Tidak Bisa Diabaikan
Berdasarkan data yang diakses publik pada portal resmi Kementerian Keuangan RI, per 3 Juni 2025, realisasi pendapatan APBD Kabupaten Kuningan tercatat sebesar Rp1,309 triliun atau 44,42 persen dari total target. Lima hari kemudian, angka itu meningkat menjadi Rp1,339 triliun. Namun, pada 13 Juni 2025, data tersebut mendadak merosot ke Rp669,2 miliar atau hanya 22,72 persen.
Perbedaan Rp639,8 miliar dalam waktu lima hari tanpa penyesuaian resmi adalah preseden berbahaya. Dalam skema tata kelola keuangan daerah, perubahan data realisasi pendapatan daerah sekecil apapun wajib dicatat, dilaporkan, dan disetujui melalui prosedur resmi: revisi APBD, pengesahan DPRD, serta update sistem SIPD Kemendagri. Tanpa itu, perubahan angka bisa dikategorikan pelanggaran administratif berat, bahkan berpotensi menjadi perbuatan melawan hukum.
Lebih dari Sekadar Kesalahan Teknis
Ada kecenderungan di berbagai daerah untuk menyederhanakan permasalahan seperti ini menjadi sekadar “kesalahan teknis”. Namun, dalam kasus ini, nominal perbedaannya terlalu besar untuk dianggap remeh. Sebesar Rp639,8 miliar dalam konteks APBD sebuah kabupaten setara dengan ratusan program pelayanan publik, infrastruktur, hingga jaminan sosial bagi masyarakat.
Lebih dari itu, anomali ini dapat menjadi gejala dari masalah sistemik, mulai dari lemahnya pengawasan internal, ketidakdisiplinan prosedur, hingga potensi manipulasi laporan anggaran. Dugaan motifnya bisa bermacam-macam, mulai dari upaya menyamarkan defisit anggaran semesteran, mengaburkan posisi kas daerah, hingga pergeseran belanja tanpa persetujuan resmi.
Risiko Sistemik yang Mengancam
Dampak dari kasus ini tak berhenti di Kuningan semata. Jika dibiarkan, praktik serupa bisa menjalar ke daerah lain, menjadi contoh buruk yang menormalisasi pelanggaran prosedur keuangan publik. Di tingkat nasional, ini juga bisa memengaruhi kepercayaan pusat terhadap kemampuan daerah dalam mengelola keuangan secara akuntabel.
Bagi masyarakat Kuningan, konsekuensinya lebih nyata. Risiko defisit anggaran, terhambatnya program pelayanan publik, dan potensi mandeknya proyek prioritas daerah menjadi ancaman langsung. Lebih buruk lagi, bila ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah daerah membesar, krisis legitimasi dapat muncul dan stabilitas sosial-politik lokal terganggu.
DPRD Jangan Diam
Sebagai representasi rakyat dan lembaga pengawas anggaran, DPRD Kabupaten Kuningan tidak boleh abai. Mereka memegang amanat konstitusi daerah untuk memastikan setiap rupiah APBD dikelola secara benar, transparan, dan akuntabel. Hak interpelasi dan hak angket bukan sekadar prosedur politik, melainkan instrumen moral untuk menjaga marwah pengelolaan keuangan publik.
Keterlibatan aktif DPRD dalam meminta klarifikasi, melakukan investigasi bersama Badan Pemeriksa Keuangan Daerah (BPKD), dan mendesak Bupati memberikan penjelasan terbuka adalah langkah wajib. Sebab, tanpa itu, DPRD justru akan ikut tercemar dalam ketidakjelasan ini.
Panggilan Moral bagi Pemerintah Pusat
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan wajib memandang persoalan ini bukan kasus administratif biasa. Audit investigatif terhadap SIPD, alur pelaporan APBD Kuningan, dan rekam jejak perubahan data harus segera dilakukan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun perlu memberi atensi khusus, karena potensi kerugian negara dalam kasus ini sangat besar.
Anomali data sebesar Rp639,8 miliar bukan hanya soal angka. Ia adalah cermin rusaknya prinsip akuntabilitas publik, pengkhianatan terhadap hak rakyat atas informasi, dan potensi kerusakan tatanan fiskal daerah yang selama ini dibangun di atas prinsip transparansi.
Saatnya Publik Bersikap
Terakhir, masyarakat sipil, aktivis kebijakan publik, dan media lokal harus tetap konsisten mengawal isu ini. Kekuatan kontrol publik merupakan fondasi utama dalam membangun pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab. Diamnya masyarakat atas kasus semacam ini hanya akan melanggengkan praktik penyimpangan keuangan daerah.
Skandal ini harus menjadi momentum bagi Kabupaten Kuningan untuk membenahi total sistem pengelolaan keuangannya. Jangan sampai, anggaran rakyat dikelola seperti lembaran catatan tanpa makna. Sebab, di balik setiap rupiah APBD, ada hak pelayanan, ada pembangunan yang tertunda, dan ada kesejahteraan masyarakat yang dipertaruhkan.
Oleh: Redaksi KuninganSatu.com
"Suara Nurani Masyarakat Daerah, Mengawal Akuntabilitas Publik"