Cerpen "Negeri Emas Para Kurcaci" Bagian 1
Oleh: Mang Kaeling
Yang Datang Serba Hitam
Di lereng Gunung Harapan yang dahulu dikenal sebagai tiang langit Negeri Emas, embun pagi pernah membawa lagu-lagu tentang kemakmuran dan kesetiaan. Negeri itu dihuni oleh para kurcaci, makhluk kecil berjiwa besar, yang menanam padi dengan doa dan memanen dengan nyanyian.
Mereka hidup dalam keteraturan alam, dalam ritme yang ditata oleh bulan dan matahari, bukan oleh tenggat dan tender. Namun, seperti dongeng yang berubah jadi berita buruk, Negeri Emas tak lagi sama.
Keling, kurcaci legam pembawa kabar, sudah lama mencium aroma ganjil. Bukan dari tanah yang kering, tapi dari tawa-tawa yang terdengar terlalu nyaring di rumah-rumah yang baru dibangun. Ia tahu, di antara para kurcaci yang lahir dari tanah dan hutan, kini ada makhluk asing yang berjalan pelan namun berat yakni para raksasa yang menyamar sebagai kurcaci.
Mereka datang dengan pakaian rakyat, bicara dengan logat yang ditiru, bahkan pura-pura menyentuh tanah dengan penuh hormat. Tapi tanah tahu siapa yang pernah memeluknya dan siapa yang hanya berpura-pura. Para raksasa ini menyusup pelan-pelan ke dalam balai desa, ke meja musyawarah, ke pasar, bahkan ke mimbar. Mereka membawa peti berisi janji dan perjanjian, menggoda kurcaci yang letih dengan kilau upah yang tak pernah ada dalam sejarah lumbung.
Mereka menjanjikan pembangunan, tapi tak menyebut bahwa itu dibayar dengan air mata akar. Mereka menawarkan lapangan kerja, tapi lupa menyebut bahwa ladang akan hilang. Mereka bicara tentang kemajuan, tapi tak pernah menyebut bahwa itu artinya keterasingan.
Keling menulis dalam diam:
"Ada yang datang bukan untuk tinggal, tapi untuk mengambil. Mereka menyapa, tapi bukan karena ingin bersaudara melainkan agar pintu dibuka selebar mungkin."
Hutan-hutan yang dulu seperti saudara tua kini dibungkam, ditukar dengan izin yang dicetak di atas kertas yang lebih tebal dari hati. Gunung Harapan tak lagi menyimpan doa, karena di perutnya kini menggeliat mesin-mesin yang tak mengenal waktu. Sungai-sungai diwarnai proyek. Tanah dijadikan papan catur.
Dan yang paling menyakitkan adalah beberapa kurcaci sendiri memilih berdiri di sisi para raksasa. Mereka merasa tinggi dengan duduk di bahu yang besar. Mereka lupa bahwa kaki mereka dahulu bersentuhan dengan lumpur kehidupan.
Lalu datang musim yang dingin. Bukan dingin cuaca, tapi dingin kepercayaan. Lumbung negeri mulai kosong, bukan karena gagal panen, tapi karena ada pipa-pipa tak terlihat yang mengalirkan hasil ke luar. Di balai negeri, kas disebut ‘disesuaikan’, tapi rakyat menyebutnya dengan kejujuran yang menyakitkan “hari di mana tak ada yang bisa ditebus selain kesabaran.”
Rakyat menunggu gaji yang tak kunjung datang, seperti menunggu hujan di atas ladang yang sudah terlanjur disemen. Taman kota jadi panggung bisnis, bukan tempat anak-anak belajar tentang langit. Semua terasa seperti sandiwara yang naskahnya ditulis oleh tangan-tangan tak dikenal.
Keling menyusupkan pesannya ke bawah batu, ke balik daun, ke punggung buku sekolah "Hati-hati bila negeri kecil dibisik oleh suara yang terlalu berwibawa. Karena bisa jadi itu suara raksasa dalam jubah rakyat."
Kini, Negeri Emas tak runtuh dalam gemuruh. Ia pelan-pelan terkelupas, seperti cat pada dinding tua: tak disadari, tapi lama-lama menganga. Rakyat masih tersenyum, tapi senyum itu seperti daun kering yang mudah patah bila disentuh kenyataan.
Dan Keling, dengan tubuhnya yang kecil dan pena dari ranting, terus berjalan. Ia tak bisa mengusir raksasa. Tapi ia tahu, selama masih ada satu suara yang jujur, satu kisah yang tak mau dibeli, maka tanah ini belum benar-benar habis.
Karena dalam sunyi yang tak dianggap, di sanalah biasanya kebenaran bertahan paling lama.
BERSAMBUNG...