Belanja Tidak Terduga (BTT) Kuningan Tembus 76 Persen di Semester Pertama: Genting atau Disalahgunakan?
Oleh: Andika Ramadhan
(Mahasiswa Fakultas Hukum, Pemerhati Kebijakan Publik)
Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan telah merealisasikan Belanja Tidak Terduga (BTT) sebesar Rp9,22 miliar dari pagu total Rp12 miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2025. Realisasi ini terjadi hanya dalam waktu enam bulan, sehingga serapannya mencapai 76,86 persen. Angka ini tentu mengejutkan, mengingat tahun anggaran baru memasuki pertengahan.
Dalam tata kelola keuangan daerah, BTT merupakan pos anggaran yang bersifat darurat. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam regulasi tersebut, sudah jelas bahwa BTT diperuntukkan bagi keadaan luar biasa seperti bencana alam, bencana non-alam, kedaruratan sosial, dan peristiwa tidak terduga lainnya yang tidak dapat diprediksi atau direncanakan sebelumnya.
Namun hingga Juni 2025, publik Kabupaten Kuningan tidak menyaksikan adanya peristiwa luar biasa berskala besar yang bisa menjadi pembenaran penggunaan anggaran BTT sebesar itu. Tidak ada gempa, banjir besar, kerusuhan sosial, atau wabah besar yang diberitakan secara meluas. Maka dari itu hal ini mendapatkan perhatian khusus dari seorang mahasiswa dan juga Pemerhati Kebijakan Publik, Andika Ramadhan, menyuarakan bahwa “Memangnya, untuk apa saja secara detail dan terperinci BTT itu digunakan, kami ingin tahu rincian secara detail dan implementasinya di lapangan" ucapnya.
Pertanyaan ini bukan bentuk prasangka, melainkan bentuk kontrol publik yang sah dan perlu. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, terdapat asas akuntabilitas dan transparansi yang menjadi prinsip utama pengelolaan keuangan negara. Prinsip ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta menjadi bagian dari nilai-nilai good governance.
Jika penggunaan BTT ternyata dialihkan untuk kebutuhan yang sebenarnya dapat direncanakan sejak awal seperti pengadaan rutin, honor kegiatan, atau belanja operasional birokrasi maka hal itu jelas menyimpang dari semangat penyusunan anggaran yang rasional, sistematis, dan akuntabel.
Lebih mengkhawatirkan lagi, ketika kita bandingkan dengan belanja modal yakni belanja untuk pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, fasilitas publik realisasinya justru sangat rendah. Dari pagu Rp247,49 miliar, hanya Rp15,21 miliar yang terealisasi atau 6,14 persen saja. Artinya, ada ketimpangan arah kebijakan anggaran pembangunan fisik yang nyata tertinggal, sementara pos darurat justru diserap hampir habis.
Dalam situasi fiskal daerah yang sedang tidak baik-baik saja di mana Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru mencapai 16,14 persen dari target, dan Pajak Daerah bahkan 0 persen realisasi maka penggunaan dana seperti BTT seharusnya dijaga dengan kehati-hatian dan justifikasi yang sangat kuat.
Pemerintah daerah saat ini perlu menjelaskan kepada publik secara terbuka :
1. Apa saja komponen yang dibiayai melalui BTT?
2. Apakah penggunaan itu sesuai klasifikasi kedaruratan sebagaimana ditetapkan dalam regulasi?
3. Siapa yang mengambil keputusan penggunaan BTT, dan berdasarkan pertimbangan apa?
Tanpa penjelasan yang jelas, rinci, dan terbuka, publik punya alasan kuat untuk mencurigai bahwa pos “Belanja Tidak Terduga” justru telah berubah fungsi menjadi “keranjang ajaib”, tempat membiayai berbagai kebutuhan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara normatif.
Kami menyerukan kepada DPRD, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta media dan masyarakat sipil untuk menyoroti penggunaan BTT ini secara lebih serius. Dalam demokrasi lokal, kita tidak bisa membiarkan "yang tidak terduga" menjadi "yang disengaja".
Editor: Imam Royani