Polemik PKL Puspa, Andika: Digusur Tanpa Aturan, Ditata Tanpa Perlindungan!
Siliwangi, KuninganSatu.com - Kebijakan relokasi pedagang kaki lima (PKL) dari kawasan strategis pertokoan Jalan Siliwangi ke area Puspa Siliwangi dan Langlangbuana oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan kini bukan hanya dipertanyakan, tapi digugat secara moral dan etis.
Bagi sebagian besar masyarakat, langkah ini bukan lagi dianggap penataan, melainkan pengusiran halus terhadap rakyat kecil dari ruang hidup dan sumber penghidupan mereka.
Sorotan tajam datang dari Andika Ramadhan, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kuningan, yang menilai kebijakan ini sarat dengan kekeliruan mendasar, mulai dari ketiadaan dasar hukum yang sah, absennya partisipasi publik, hingga tidak adanya perlindungan terhadap dampak ekonomi yang ditimbulkan.
“Saya menduga relokasi ini bukan hasil dialog, tapi hasil perintah. Bukan solusi, tapi pemaksaan. Pemerintah tidak sedang menata kota, mereka sedang menyingkirkan rakyat kecil demi estetika yang kosong dari keadilan,” tegas Andika kepada KuninganSatu.com pada Selasa (10/6/2025).
Ia juga menilai, jika kebijakan ini terus dipertahankan tanpa evaluasi menyeluruh, maka Pemkab Kuningan sedang menanam bara konflik di tengah masyarakat.
“Jika akhirnya relokasi ini hanya melahirkan perlawanan, keresahan, dan kemarahan, maka siapa pun di balik ide kebijakan ini harus bersiap menerima konsekuensi moral. Mereka mungkin bisa tidur di balik fasilitas kekuasaan, tapi saya yakin tidak akan pernah bisa tidur nyenyak dengan hati nurani yang terus ditampar oleh penderitaan rakyat,” ujarnya dengan nada tajam.
Aksi dorong gerobak yang dilakukan para PKL dari Puspa Siliwangi dan Langlangbuana kembali ke kawasan pertokoan Siliwangi, Jum'at (6/6/2025) adalah bukti bahwa ketidakadilan ini telah melewati batas toleransi. Ini bukan sekadar protes biasa, ini adalah perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap menindas dan memiskinkan.
Andika menegaskan, tidak adanya dasar hukum yang jelas dalam kebijakan relokasi ini juga bukan kesalahan administratif semata, tapi bentuk kelalaian serius yang berdampak langsung pada hilangnya hak-hak warga negara.
“Kalau tidak ada regulasi, tidak ada dasar hukum, maka ini adalah tindakan liar yang dibungkus rapih dengan dalih penataan kota. Ini bukan sekadar mal-administrasi, ini pelecehan terhadap prinsip negara hukum,” katanya.
Ia juga mengungkapkan bahwa ketiadaan legitimasi hukum dalam relokasi ini berdampak langsung terhadap kepercayaan dan keberlangsungan hidup para PKL.
“Coba lihat, jumlah PKL di lokasi relokasi makin hari makin menyusut. Bukan karena mereka berhasil naik kelas, tapi karena mereka menyerah. Mereka dihancurkan pelan-pelan oleh sistem yang tidak mau mendengar,” tandasnya.
Lebih jauh, Andika mengingatkan bahwa pembangunan yang mengorbankan rakyat kecil bukanlah kemajuan, melainkan kemunafikan.
“Apa gunanya trotoar rapih dan jalan mulus kalau itu dibayar dengan air mata ibu-ibu penjual nasi, atau bapak-bapak penjual gorengan yang sekarang omzetnya justru tergerus habis? Kota yang dibangun di atas penderitaan rakyat kecil bukan kota maju, tapi kota gagal beradab,” kritiknya.
Ia menutup pernyataan dengan mendesak Pemkab Kuningan untuk segera menghentikan sikap anti kritik dan membuka ruang dialog yang jujur dan setara dengan para PKL.
“Kalau pemerintah masih punya nurani, duduklah bersama rakyat. Dengarkan. Jangan terus berlindung di balik tameng estetika. Kota ini milik semua, bukan hanya mereka yang punya uang dan kekuasaan,” pungkas Andika.
(red)